Banjir dan Ujian Komitmen Pemimpin: Solusi atau Lip-Service?

“Banjir datang, pejabat berjanji. Tahun berganti, janji pun menguap.”

20250306_195419

Jakarta (KARONESIA.COM) – Setiap musim hujan tiba, kekhawatiran masyarakat terhadap banjir kembali mencuat. Bukan tanpa alasan, fenomena yang terjadi hampir setiap tahun ini menandakan belum optimalnya langkah antisipatif pemerintah dan kesadaran kolektif masyarakat. Janji pemimpin daerah tentang solusi banjir selalu terdengar nyaring, tetapi realisasinya kerap tak sejalan dengan ekspektasi publik.

Di berbagai kota besar, khususnya Jabodetabek, banjir bukan hanya sekadar fenomena alam, melainkan ujian bagi kebijakan dan komitmen pemimpin. Pemerintah mengklaim telah melakukan berbagai upaya, seperti pengerukan sungai, pembuatan sumur resapan, hingga pembangunan tanggul. Namun, hujan deras dengan intensitas tinggi tetap membuat kota lumpuh dalam genangan air.

Masyarakat mulai mempertanyakan: apakah langkah-langkah yang diambil selama ini benar-benar efektif, atau hanya sekadar formalitas demi memenuhi janji kampanye? Data menunjukkan bahwa penyebab banjir bukan sekadar faktor alam, tetapi juga akibat ulah manusia—mulai dari tata kota yang buruk, minimnya daerah resapan air, hingga kebiasaan membuang sampah sembarangan.

Baca Juga :  Babinsa Serda Sudar Serbuan Teritorial, Karbak Lingkungan

Dalam Islam, konsep tawakal mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan setelah usaha maksimal dilakukan. Namun, dalam konteks kebijakan publik, pasrah tanpa ikhtiar bukanlah solusi. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan secara optimal dalam mitigasi bencana.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak program hanya bersifat reaktif. Setelah banjir datang, barulah pemerintah turun tangan dengan bantuan dan penanganan darurat. Padahal, yang dibutuhkan adalah kebijakan jangka panjang yang berorientasi pada pencegahan.

Banyak pihak menilai bahwa langkah yang diambil selama ini masih bersifat tambal sulam. Alokasi anggaran besar sering kali tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan. Sejumlah proyek infrastruktur pengendalian banjir kerap mengalami kendala mulai dari pembebasan lahan, keterbatasan dana, hingga persoalan teknis lainnya.

Baca Juga :  Peltu Andi Prayitno Koramil 08/Pml Pimpin Pembersihan Saluran Air: Cegah Banjir dan DBD

Di sisi lain, masyarakat juga memiliki andil dalam memperburuk situasi. Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan masih rendah. Sampah plastik yang menyumbat drainase, alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan pemukiman, serta eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan menjadi faktor yang mempercepat terjadinya bencana.

Pendekatan solusi berbasis ekologi perlu lebih dikedepankan. Revitalisasi sungai, penghijauan perkotaan, serta sistem drainase yang lebih modern harus menjadi prioritas. Pemanfaatan teknologi, seperti sistem peringatan dini dan pemantauan curah hujan berbasis AI, dapat membantu memperkirakan risiko banjir dan mengambil tindakan preventif lebih cepat.

Baca Juga :  Ketua MPR RI Bamsoet Apresiasi Keberhasilan Uji Terbang "EHang 216" Tanpa Awak

Banjir bukan takdir yang harus diterima begitu saja tanpa upaya pencegahan. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi dalam mencari solusi yang tidak hanya sekadar wacana, tetapi benar-benar dapat mengurangi dampak bencana. Seperti yang sering diungkapkan, “Banjir datang, pejabat berjanji. Tahun berganti, janji pun menguap.” Saatnya mengakhiri siklus ini dengan aksi nyata. (@2025)

Oleh: Yakub F. IsmailPenulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia

error: Content is protected !!