Jakarta, (KARONESIA.COM) – Fenomena sertifikasi laut yang muncul di beberapa wilayah, termasuk Bekasi dan Tangerang, menuai kontroversi di masyarakat. Sejumlah pihak mempertanyakan legalitas serta dampak lingkungan yang ditimbulkan. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) 2011-2013, Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, mendesak agar kasus ini segera diinvestigasi oleh aparat hukum.
“Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri ATR/BPN harus segera mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam pemagaran laut ini. Kasus ini harus diselesaikan dengan transparan tanpa pandang bulu,” ujar Ponto, Sabtu (1/2/2025).
Menurutnya, praktik ini bertentangan dengan hukum nasional dan internasional. Dalam hukum internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah mengatur status laut secara jelas. Laut terbagi menjadi Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Laut Lepas, yang masing-masing memiliki regulasi ketat.
“Ketika laut di Bekasi dan Tangerang disertifikatkan, ubur-ubur pun bingung mau tinggal di mana,” kata Ponto dengan nada sindiran.
Laut Bukan Wilayah yang Bisa Dimiliki
Ponto menegaskan bahwa laut bukan objek yang bisa diperjualbelikan. Berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, laut dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Sementara itu, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menegaskan bahwa hak milik hanya berlaku untuk tanah, bukan laut.
Dalam hukum internasional, setiap zona laut memiliki batasan yang ketat:
Laut Teritorial (12 mil dari garis pantai): Negara memiliki kedaulatan penuh, tetapi tidak untuk kepemilikan pribadi.
Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut): Negara hanya berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam.
Laut Lepas: Tidak bisa diklaim oleh negara atau individu mana pun karena menjadi milik bersama umat manusia.
“Setiap zona ini mengatur hak eksplorasi dan eksploitasi, tetapi tidak memberikan ruang bagi individu untuk memiliki laut,” jelasnya.
Dampak Besar Jika Sertifikat Laut Terus Diterbitkan
Ponto memperingatkan bahwa jika praktik ini dibiarkan, akan ada dampak besar yang merugikan berbagai pihak.
“Misalnya, nelayan bisa dikenakan retribusi hanya untuk melaut, padahal laut adalah milik publik. Bahkan, kapal yang melintas mungkin harus membayar semacam e-toll laut,” ungkapnya.
Selain itu, klaim kepemilikan oleh individu atau korporasi bisa membuka peluang eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya laut. Hal ini bertentangan dengan konsep global commons dalam UNCLOS, terutama Pasal 89 yang melarang klaim kepemilikan atas Laut Lepas.
Sertifikat Laut Bisa Dibatalkan
Menurut Ponto, sertifikat laut yang telah diterbitkan seharusnya dapat dibatalkan berdasarkan hukum yang berlaku. Pasal 66 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa keputusan administratif yang bertentangan dengan hukum harus dicabut.
“Penerbitan sertifikat ini bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang, bahkan berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sesuai UU No. 31 Tahun 1999,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ponto menambahkan bahwa sertifikasi ini bisa termasuk dalam pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.
“Ini bukan hanya pelanggaran hukum nasional, tapi juga melawan hukum internasional,” pungkasnya. (@2025)