Oleh: Yakub F. Ismail, Ketum IMO Indonesia
Jakarta, (KARONESIA.COM) – Keputusan pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, terkait penghapusan rantai pengecer LPG 3kg sontak memicu gejolak sosial yang luar biasa.
Tanpa ada hujan ataupun angin, kebijakan ini seperti petir di siang bolong bagi masyarakat. Antrian panjang di pusat distribusi LPG 3kg pun tak terhindarkan, sementara protes berdatangan dari berbagai lapisan. Tak sedikit yang mempertanyakan dasar keputusan ini, mengingat banyak masyarakat menengah atas selama ini turut menikmati subsidi yang sebenarnya diperuntukkan bagi kalangan kurang mampu.
Memang, realitas di lapangan menunjukkan ketidaktepatan sasaran dalam distribusi LPG bersubsidi. Kasus penggunaan LPG 3kg oleh selebritas dengan kekayaan melimpah menjadi salah satu bukti bahwa subsidi ini belum sepenuhnya tepat guna. Namun, keputusan yang terkesan mendadak tanpa mempertimbangkan efek sosial yang lebih luas justru menciptakan keresahan besar.
Miskalkulasi Kebijakan
Merancang sebuah kebijakan publik bukan perkara mudah. Seperti yang dijelaskan William N. Dunn dalam Public Policy Analysis (1981), kebijakan publik lahir melalui proses yang kompleks, bukan sekadar keputusan sesaat.
Kebijakan harus berakar pada analisis mendalam terhadap masalah sosial, disusun secara sistematis, diuji efektivitasnya, dan diimplementasikan dengan bijaksana. Tanpa kebijaksanaan, kebijakan hanya akan menjadi keputusan tanpa makna.
Dalam kasus LPG 3kg, pemangkasan rantai distribusi mungkin benar dalam konteks efisiensi, tetapi tidak bijaksana dalam memahami dimensi sosialnya. Banyak masyarakat miskin kini kesulitan mengakses LPG bersubsidi, memicu antrean panjang dan risiko besar bagi mereka yang sangat bergantung pada subsidi ini.
Strategi “Cek Ombak”?
Keputusan ini juga dapat dibaca sebagai strategi politik yang dalam konteks elektoral dikenal dengan istilah testing the water atau “cek ombak”. Biasanya, strategi ini digunakan untuk mengukur penerimaan publik terhadap suatu kebijakan atau figur politik sebelum keputusan final dibuat.
Dalam beberapa kasus, pemerintah sengaja meluncurkan kebijakan tanpa sosialisasi terlebih dahulu untuk melihat respons masyarakat. Jika protes yang muncul terlalu besar dan berisiko mengganggu stabilitas politik, kebijakan tersebut bisa direvisi, disesuaikan, atau bahkan dicabut.
Hal serupa terjadi dalam kebijakan LPG 3kg ini. Pemerintah awalnya bersikukuh dengan keputusannya, namun melihat reaksi publik yang begitu masif, Presiden Prabowo Subianto akhirnya memerintahkan pencabutan kebijakan tersebut. Langkah ini jelas bertujuan untuk menjaga stabilitas politik dan menghindari erosi kepercayaan publik di awal masa pemerintahannya.
Bagi Prabowo, mempertahankan citra positif sangatlah penting, terutama mengingat hasil survei terbaru menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinannya cukup tinggi. Jika reputasi ini rusak hanya karena kebijakan yang tidak dipertimbangkan dengan matang, tentu dampaknya bisa sangat besar bagi legitimasi pemerintahan yang baru berjalan.
Keputusan yang diambil Bahlil Lahadalia ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh kementerian di era Prabowo-Gibran. Ketidakhati-hatian dalam merancang kebijakan bukan hanya menciptakan kegaduhan sosial, tetapi juga bisa menjadi bumerang politik yang menghancurkan stabilitas pemerintahan.
Karena itu, setiap kebijakan harus dikaji dengan cermat. Salah langkah sedikit saja, pemerintah bisa kehilangan kepercayaan publik, dan itu adalah risiko yang terlalu mahal untuk diambil. (@2025)
Tinggalkan Balasan