KAROnesia.com, Jakarta – Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM PIDUM) melalui Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (TP Oharda) Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H. memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 18 dari 19 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif di Jakarta, Selasa, (21/05/2024).
Dijelaskannya bahwa, Permohonan tersebut mencakup kasus-kasus berikut:
1. Nurdin bin Hasan dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Sudandi bin Damiri Pungut dari Kejaksaan Negeri Lampung Utara, melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
3. I Tripon Fatlolon alias Tripon, Felix Fatlolon alias Felix, Fransiskus Batyefwal alias Frans, dan Theodorus Rumajak alias Rudi dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar, melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan.
4. Darwin Saputra alias Darwin dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Valentino Derry Talahatu dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
6. Syafriansyah Putra alias Rian bin Syaiful Bahri dari Kejaksaan Negeri Bungo, melanggar Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
7. Said Abd. Roni alias Rani bin (Alm.) Said Hamzah dari Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur, melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76 C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
8. Ambo Jelling bin (Alm.) Ambo Asse dari Kejaksaan Negeri Samarinda, melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
9. Sukarti binti (Alm.) Kasandimedjo dari Kejaksaan Negeri Blitar, melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
10. Nenoes Faraditasari binti Kasnadi dari Kejaksaan Negeri Jombang, melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
11. Agung Saputro dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang, melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan atau Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
12. Mochamad Rafli Romadhon bin Mochamad Katirin dari Kejaksaan Negeri Kota Madiun, melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayan.
13. Mochamad Maulana Reizqi Bilondatu bin Djamalludin Bilondatu dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri, melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
14. Antonius Panuntutan Purba dari Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
15. Pandapotan Br. Gurusinga dari Kejaksaan Negeri Langkat, melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan subsidair. Pasal 352 KUHP.
16. Dolly Abdillah als Doli bin Lukman dari Kejaksaan Negeri Pangkalpinang, melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
17. Zulkifli Alias Dun bin Alm Ibrahim dari Kejaksaan Negeri Bireuen, melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
18. Rahmat Fadillah bin Zulkifli dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, melanggar Pasal 76C jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ia menambahkan bahwa, alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain meliputi:
– Telah terjadi proses perdamaian di mana tersangka telah meminta maaf dan korban telah memberikan maaf.
– Tersangka tidak memiliki catatan pidana sebelumnya.
– Ini merupakan tindakan pidana pertama kali yang dilakukan oleh tersangka.
– Ancaman hukuman denda atau penjara tidak melebihi 5 (lima) tahun.
– Tersangka berkomitmen untuk tidak mengulangi perbuatannya.
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela melalui musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
– Tersangka dan korban sepakat untuk tidak melanjutkan perselisihan ke pengadilan karena dianggap tidak akan memberikan manfaat yang lebih besar.
– Pertimbangan sosiologis.
– Respon positif dari masyarakat.
Sedangkan, permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif untuk kasus Surungan Nainggolan dari Kejaksaan Negeri Pematang Siantar yang melanggar Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dikabulkan.
Hal ini disebabkan oleh tindakan pidana yang dilakukan oleh tersangka yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang tercantum dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Selanjutnya, Direktur Tindak Pidana Oharda memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai upaya untuk menegakkan kepastian hukum. (@2024/lingga)