JAM-Pidum Bahas Perspektif Hukuman Mati dalam KUHP 2023 di Seminar Nasional

“KUHP 2023 membawa pendekatan baru dalam pemidanaan, mengutamakan rehabilitasi dan kesempatan perubahan bagi terpidana,” ujar JAM-Pidum.

20250302_134821

Jakarta (KARONESIA.COM) – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Asep N. Mulyana menyoroti perubahan mendasar dalam sistem hukum pidana, khususnya terkait hukuman mati, dalam seminar nasional yang digelar di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat, (28/02/2025). Seminar bertajuk Hukuman Mati dalam Pandangan Hukum Islam, KUHP, dan Pergaulan Internasional ini menghadirkan diskusi dari berbagai perspektif hukum nasional dan internasional.

Dalam paparannya, JAM-Pidum menjelaskan bahwa KUHP 2023 membawa pergeseran paradigma dalam sistem pemidanaan. Pendekatan yang sebelumnya berorientasi pada pembalasan (retributif) kini lebih menitikberatkan aspek korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Ia juga menyoroti bahwa dalam sistem baru ini, pidana mati bukan lagi hukuman yang langsung dieksekusi, melainkan memiliki masa percobaan 10 tahun untuk menilai perubahan perilaku terpidana.

Baca Juga :  Tak Kapok, Mantan Napi Kembali Ke Jeruli Besi Terlibat Bisnis Narkotika

“Hukuman mati kini ditempatkan sebagai upaya terakhir dengan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk menunjukkan perubahan perilaku dan penyesalan. Jika selama masa percobaan ini terpidana menunjukkan perbaikan diri, hukuman dapat dikonversi menjadi pidana seumur hidup,” ujar JAM-Pidum.

Perubahan lain dalam KUHP 2023 meliputi penghapusan kategori kejahatan dan pelanggaran, serta pengenalan pidana baru seperti pengawasan dan kerja sosial. Selain itu, terdapat pembatasan pidana penjara untuk kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia di atas 75 tahun, dan pelaku tindak pidana pertama (first offender).

Baca Juga :  Lantik 440 Pejabat di Kemenkeu, Menkeu Tegaskan Tanggung Jawab dan Etika Tinggi

JAM-Pidum juga menjelaskan bahwa Pasal 99 dan 100 KUHP 2023 mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan pidana mati, termasuk mekanisme pengajuan grasi. Hukuman mati tidak lagi dilakukan di muka umum dan hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi ditolak oleh Presiden.

Seminar ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, termasuk perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, serta pakar hukum dari organisasi internasional. Perdebatan mengenai hukuman mati pun muncul, dengan sebagian pihak menilai hukuman tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk keadilan dan efek jera dalam sistem peradilan pidana.

Baca Juga :  Kasus Korupsi Duta Palma: Penyitaan Uang Tunai Capai Rp372 Miliar

Dengan beragam perspektif yang dihadirkan, seminar ini menjadi ruang diskusi penting dalam memahami posisi hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia, serta bagaimana aturan baru dalam KUHP 2023 mencerminkan keseimbangan antara keadilan, rehabilitasi, dan kepentingan masyarakat. (@2025)

error: Content is protected !!