JAM-Pidum Setujui 4 Restorative Justice, Salah Satunya Kasus Pencurian Motor

“Restorative justice bukan hanya soal menghentikan perkara, tetapi bagaimana hukum dapat menghadirkan keadilan yang lebih bermakna bagi masyarakat.”

Karonesia.com_20250305_145034_0000

Jakarta (KARONESIA.COM) – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui penghentian penuntutan terhadap empat perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif dalam ekspose virtual yang digelar pada Rabu, (05/03/2025). Keputusan ini menegaskan komitmen Kejaksaan dalam mengedepankan pendekatan keadilan yang lebih humanis, selama memenuhi ketentuan yang ditetapkan.

Salah satu perkara yang dihentikan adalah kasus pencurian sepeda motor yang melibatkan tersangka Wiwin Ramadhan bin Wahidin dari Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi. Wiwin diduga melanggar Pasal 362 KUHP setelah membawa pergi sepeda motor milik Sudirman bin Sumar yang terparkir di kebun karet Desa Teratak Baru, Kecamatan Kuantan Hilir. Kejadian yang terjadi pada 26 Desember 2024 itu menyebabkan korban mengalami kerugian sekitar Rp1,5 juta.

Baca Juga :  LaNyalla Apresiasi Kejagung, Usut Kasus PT Timah Temuan DPD RI

Setelah melalui proses mediasi, Wiwin mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada korban. Sudirman pun menerima permintaan maaf tersebut dan mengajukan permohonan agar perkara tidak dilanjutkan ke persidangan. Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi kemudian mengusulkan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H., yang menyetujui permohonan tersebut sebelum diajukan ke JAM-Pidum.

Selain perkara Wiwin, tiga kasus lain juga mendapat persetujuan penghentian penuntutan melalui restorative justice. Perkara tersebut melibatkan:

  • Anthoni Istia dari Kejaksaan Negeri Maluku Tengah, yang diduga melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  • Rifal Rinaldi alias Rifal dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang diduga melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
  • Geri Priadi bin Musa dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu Timur, yang diduga melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.

Pemberian keadilan restoratif ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, serta ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun. Selain itu, telah terjadi perdamaian antara tersangka dan korban, serta ada dukungan dari masyarakat sekitar.

Baca Juga :  Jaksa Agung ST Burhanuddin:“PERSAJA Dukung Kejaksaan dalam Penegakan Hukum Modern Menuju Indonesia Emas 2045"

Namun, tidak semua permohonan restorative justice dikabulkan. Salah satu perkara yang ditolak adalah kasus yang melibatkan tersangka M. Dino Aditya Pratama bin Mardono dari Kejaksaan Negeri Bireuen. Ia didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam. JAM-Pidum menilai perbuatannya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.

Baca Juga :  Hakordia 2024: Kejaksaan Agung Tekankan Sinergitas dan Integritas dalam Perangi Korupsi

“Para Kepala Kejaksaan Negeri diminta untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” ujar JAM-Pidum dalam keterangannya.

Keputusan ini memperlihatkan arah kebijakan Kejaksaan dalam mengimplementasikan keadilan restoratif sebagai solusi penyelesaian perkara pidana tertentu, dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban dan masyarakat. (@2025)

error: Content is protected !!