Sentul, Bogor (KARONESIA.COM) – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, Marthinus Hukom, secara resmi membuka Focus Group Discussion (FGD) bertema “Analisis dan Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Bersama No. 1 Tahun 2014 Guna Mewujudkan Sinergi Penanganan Tindak Pidana Narkoba” di The Alana Hotel & Conference Center, Sentul City, Kabupaten Bogor, Senin (25/11/2024).
FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kebijakan yang berperan penting dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) di Indonesia.
Dalam sambutannya, Marthinus Hukom menegaskan pentingnya penanggulangan narkotika sebagai bagian dari Asta Cita Presiden Indonesia. Ia menguraikan tiga prinsip moral yang menjadi dasar dalam menangani masalah narkoba. Pertama, ia menekankan bahwa penyalahgunaan narkotika harus dipandang sebagai ancaman terhadap kemanusiaan dan peradaban. Menurut data tahun 2023, sebanyak 3,3 juta orang di Indonesia tercatat sebagai penyalah guna narkotika dengan prevalensi mencapai 1,73%.
Kedua, Kepala BNN RI menggarisbawahi pentingnya penegakan hukum yang menargetkan jaringan sindikat narkotika, bukan hanya pelaku tingkat pengguna. “Penegakan hukum harus menyasar jaringan narkoba secara menyeluruh, tidak hanya pada tingkat pengguna,” ujar Hukom.
Prinsip ketiga yang ditekankan adalah pentingnya pendekatan humanis terhadap pecandu narkoba.
Hukom menegaskan bahwa para pengguna narkotika harus diperlakukan sebagai korban yang membutuhkan rehabilitasi medis dan sosial, bukan hanya dijadikan tahanan. Hal ini diungkapkan seiring dengan kondisi overkapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang didominasi oleh pelaku tindak pidana narkotika.
“Kita harus melihat mereka (pecandu narkotika) sebagai korban. Penangkapan yang kita lakukan justru membuat mereka semakin menjadi korban. Mereka membutuhkan intervensi medis dan sosial,” tegasnya.
Hukom juga menyoroti sejumlah kelemahan dalam penerapan Undang-Undang Narkotika, terutama terkait pasal-pasal yang sering dijadikan alat transaksional, khususnya dalam masalah rehabilitasi. Ia mendesak perlunya revisi undang-undang guna memperbaiki kekurangan tersebut. “Kita perlu membaca kembali aturan hukum yang ada. Banyak pasal yang belum maksimal, sehingga revisi undang-undang narkotika menjadi kebutuhan mendesak,” ungkapnya.
Dalam upaya untuk membenahi pelaksanaan kebijakan ini, BNN telah melakukan asesmen terhadap 8.677 tersangka narkotika sepanjang Januari hingga Oktober 2024, melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT). Dari jumlah tersebut, 5.596 orang direkomendasikan untuk menjalani rehabilitasi, baik secara rawat inap maupun rawat jalan. Namun, pelaksanaan rekomendasi ini masih menghadapi tantangan, termasuk adanya disparitas dalam putusan pemidanaan yang diterima oleh beberapa tersangka.
FGD ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Bersama No. 1 Tahun 2014 yang mengatur penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Diskusi ini juga berfokus pada penguatan sinergi antar lembaga terkait dan pengembangan pendekatan rehabilitasi yang lebih efektif bagi penyalah guna narkotika. Diharapkan, sinergi dan upaya bersama ini dapat menyelesaikan berbagai tantangan dalam penanganan narkoba, serta mewujudkan kebijakan yang lebih holistik, manusiawi, dan berbasis rehabilitasi. (@2024)