Iklan Karonesia
Home » Berita » Mendidik Empati, Bukan Kekerasan: Refleksi atas Kasus Bullying di Tangsel

Mendidik Empati, Bukan Kekerasan: Refleksi atas Kasus Bullying di Tangsel

Rubrik: Opini  |  Oleh: Rahmat Daeng, Ketua Gerakan Cinta Prabowo (GCP) Kota Tangerang Selatan

TangerangSelatan,KARONESIA.com| Kasus kekerasan di sekolah kembali mencoreng dunia pendidikan kita. Peristiwa yang menimpa siswa SMPN 19 Tangerang Selatan bukan sekadar insiden “candaan antar teman”, tetapi sinyal darurat tentang rapuhnya empati dan lemahnya pengawasan karakter di lingkungan pendidikan dasar.

Bullying di sekolah bukan peristiwa baru. Namun setiap kali kasus serupa terjadi, selalu ada kecenderungan untuk meremehkan: dianggap sepele, dianggap gurauan, atau dibiarkan karena pelaku dan korban masih anak-anak. Padahal, luka psikologis yang ditimbulkan bisa jauh lebih dalam daripada luka fisik.

Kasus yang dialami Muhammad Hisyam (13), siswa kelas 1 SMPN 19 Tangsel, menjadi cermin bagaimana lemahnya sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah. Korban harus menjalani perawatan medis akibat dipukul dengan kursi besi oleh teman sekelasnya.

Ironisnya, pihak sekolah sempat menyebut kejadian itu hanya sebagai “candaan antar siswa”.

Pandangan seperti ini berbahaya, karena berpotensi menormalisasi kekerasan dan mengabaikan hak anak atas rasa aman di sekolah.

Sekolah seharusnya menjadi ruang pembelajaran karakter dan empati. Ketika kekerasan justru lahir di sana, berarti ada yang salah dalam ekosistem pendidikan kita, baik dari sisi pengawasan guru, komunikasi antar siswa, maupun pola didik keluarga.

Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Tangsel, Deden Deni, yang berkomitmen memperkuat pengawasan di sekolah patut diapresiasi. Namun pengawasan tidak cukup hanya berbentuk regulasi atau sidak. Diperlukan transformasi nilai bahwa pendidikan bukan sekadar soal akademik, tetapi juga tentang membangun kepribadian yang beradab.

Guru perlu mendapat pelatihan mendeteksi tanda-tanda kekerasan di antara siswa. Sementara orang tua mesti diajak terlibat aktif, bukan hanya saat anak menjadi korban atau pelaku, tetapi dalam membangun budaya komunikasi positif di rumah.

Fenomena bullying menunjukkan bahwa persoalan moral dan sosial anak-anak kita tak bisa ditangani sepihak. Butuh sinergi lintas pihak seperti pemerintah, sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Kasus SMPN 19 Tangsel hendaknya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak bahwa toleransi terhadap kekerasan sekecil apa pun tidak bisa dibenarkan. Sekolah harus menjadi tempat tumbuhnya empati, bukan arena kekuasaan bagi yang kuat terhadap yang lemah.

Mari kita jadikan setiap kasus bullying bukan sekadar berita, melainkan panggilan untuk memperbaiki cara kita mendidik generasi. Pendidikan sejati tidak berhenti di ruang kelas, tetapi dimulai dari hati yang peduli. (*)

Bagikan artikel ini untuk menyebarkan informasi terpercaya dari karonesia.com.

Foto Editor

Editor: Lingga
© KARONESIA 2025

Artikel ini telah tayang di Karonesia.com dengan judul "Mendidik Empati, Bukan Kekerasan: Refleksi atas Kasus Bullying di Tangsel"
Link: https://karonesia.com/update-news/mendidik-empati-bukan-kekerasan-refleksi-atas-kasus-bullying-di-tangsel/

Iklan ×