Jakarta (KARONESIA.COM) Â – Lingga, yang terletak di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, menyimpan sejarah panjang yang erat kaitannya dengan kerajaan masa lalu. Dahulu, desa ini merupakan markas kerajaan Lingga yang dipimpin oleh seorang raja bergelar Sibayak Lingga. Raja Lingga pertama berasal dari keturunan yang memiliki hubungan erat dengan Raja Linge di Gayo, Aceh. Sejarah ini menjadi saksi bisu atas perjalanan panjang kehidupan masyarakat Karo.
Kisah Raja Lingga dan Perjalanan Anak Bungsu
Pada suatu masa, kerajaan Lingga menghadapi sebuah bencana besar ketika Raja Lingga jatuh sakit parah. Meskipun berbagai cara sudah dilakukan, penyakit sang raja semakin memburuk. Dalam keputusasaan, Raja Lingga meminta bantuan seorang guru atau dukun yang dikenal dengan nama mbelin pak-pak pitu sendalanen. Sang guru memberikan petunjuk bahwa untuk menyembuhkan sang raja, anak bungsu dari Raja Lingga harus meninggalkan Desa Lingga Raja dan tidak boleh kembali lagi. Demi keselamatan kerajaan, anak bungsu raja pun menerima petunjuk tersebut dengan berat hati.
Sebelum berpisah, Raja Lingga memberi beberapa pesan kepada anak bungsunya: satu genggam tanah kerajaan, satu tabu air kerajaan, dan seekor kuda putih. Tanah dan air tersebut akan digunakan sebagai ukuran untuk menentukan tempat tinggal baru yang cocok bagi anak bungsu raja. Jika berat tanah dan air yang dibawa oleh anak tersebut seimbang, maka di tempat itulah ia akan mendirikan tempat tinggalnya.
Penemuan Tempat Tinggal yang Sesuai
Perjalanan anak bungsu Raja Lingga dimulai dengan meninggalkan Desa Lingga Raja. Saat ia tiba di perbatasan Karo dan Dairi, ia beristirahat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Lau Lingga. Setelah melanjutkan perjalanan, ia tiba di daerah Sinuan Tanjung, yang terletak di sebelah barat Singa dan Simomo, namun saat menimbang tanah dan air, beratnya masih belum sama.
Pada suatu hari, saat berburu di sekitar Kabanjahe, anak bungsu Raja Lingga menemukan sebuah mata air yang sama dengan mata air di Lingga Raja. Setelah menimbang tanah dan air yang dibawanya, hasilnya ternyata sama. Tempat tersebut akhirnya dipilih sebagai tempat tinggal, dan ia menetap di sana. Di tempat ini, ia menikah dengan seorang wanita dari keluarga Ginting yang tinggal di Sungai Lau Biang.
Keturunan dan Penyebaran Klan Lingga
Anak bungsu Raja Lingga dikaruniai lima anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama menetap di Surbakti, yang kedua di Kacaribu, dan yang bungsu, bernama Lingga, tinggal bersama orang tuanya di Singgelem (kuta suah). Pada suatu hari, Lingga pergi berburu ke daerah Gungmbelin dan, dengan menggunakan tanah dan air yang dibawanya, menemukan tempat yang beratnya sama. Ia pun memutuskan untuk menetap di daerah tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Desa Lingga.
Desa Lingga Sebagai Tujuan Wisata dan Pusat Budaya
Desa Lingga kini menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik di Kabupaten Karo. Terletak sekitar 15 km dari Berastagi dan 5 km dari Kabanjahe, desa ini berada di ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut. Desa Lingga menawarkan keindahan alam dan kehidupan masyarakat yang sangat erat dengan budaya tradisional.
Salah satu daya tarik utama desa ini adalah Rumah Adat Karo yang diperkirakan berusia lebih dari 250 tahun. Rumah adat ini memiliki struktur khas dengan desain yang tidak memisahkan ruangan dengan dinding kayu, sehingga mencerminkan kebersamaan dan hubungan kekerabatan yang erat di antara keluarga. Rumah adat ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga menjadi simbol dari kehidupan sosial masyarakat Lingga.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Desa Lingga
Masyarakat Desa Lingga mayoritas masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Mereka menanam berbagai komoditas seperti padi, sayuran, dan tanaman kopi. Sumber daya alam yang melimpah di sekitar desa memberikan peluang bagi penduduk untuk mengembangkan pertanian dengan cara yang berkelanjutan.
Selain itu, pariwisata mulai memberikan dampak positif terhadap perekonomian lokal. Wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan alam dan budaya Desa Lingga memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat melalui homestay, penjualan oleh-oleh khas Karo, dan jasa pemandu wisata lokal.
Namun, meskipun pariwisata memberikan keuntungan, tantangan terbesar yang dihadapi adalah menjaga keseimbangan antara perkembangan ekonomi dan pelestarian budaya tradisional. Beberapa masyarakat di Desa Lingga tetap berusaha mempertahankan gaya hidup adat mereka meskipun sudah ada pengaruh modernisasi.
Pendidikan dan Pelestarian Budaya
Pendidikan di Desa Lingga juga menjadi perhatian penting dalam upaya pelestarian budaya. Masyarakat desa memiliki kesadaran tinggi untuk mendidik anak-anak mereka agar mengenal sejarah dan budaya Karo sejak dini. Beberapa sekolah di Desa Lingga dan sekitarnya memberikan pelajaran yang menekankan pada pentingnya mengenal adat dan budaya lokal.
Selain itu, Desa Lingga menjadi tempat bagi para peneliti dan akademisi yang tertarik untuk mempelajari budaya dan sejarah Tanah Karo. Pemerintah setempat bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk mengembangkan program yang bertujuan melestarikan tradisi dan sejarah Karo, seperti pelatihan seni tari tradisional atau pembuatan kerajinan tangan.
Desa Lingga Lama dan Lingga Baru
Seiring dengan perkembangan zaman, Desa Lingga terbagi menjadi Lingga Lama dan Lingga Baru. Lingga Lama, yang juga dikenal sebagai Desa Budaya Lingga, adalah wilayah desa yang lebih tua dan kaya akan nilai sejarah. Sedangkan, Lingga Baru merupakan hasil dari pemekaran desa yang dilakukan pemerintah untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk dan melestarikan keaslian Lingga Lama.
Batas Geografis Desa Lingga
Secara geografis, Desa Lingga terletak di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, dan berbatasan dengan beberapa desa lainnya:
- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Surbakti
- Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kacaribu
- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Sirumbia
- Sebelah timur berbatasan dengan Desa Lingga Julu
Desa Lingga tidak hanya menawarkan pemandangan alam yang memukau, tetapi juga kesempatan untuk merasakan langsung kehidupan masyarakat yang masih kental dengan budaya dan tradisi adat mereka. (@2025)