Editor: Lingga | @KARONESIA.COM
Tangerang Selatan, KARONESIA.com | Gagasan pariwisata humanis kembali mengemuka di Tangerang Selatan. Sejumlah tokoh budaya, komunitas sejarah, dan pelaku pariwisata daerah berupaya mendorong model pengembangan wisata yang menempatkan manusia, memori lokal, dan relasi sosial sebagai pusatnya. Mereka menilai, formula itu mampu menjadi fondasi identitas baru kota yang tumbuh cepat namun kerap kehilangan pijakan pada akar budayanya.
Pada pertemuan di Kota Tangerang Selatan, Sabtu (7/12/2025), Dinas Pariwisata bersama komunitas Historia Tangsel menggarisbawahi urgensi merawat “cerita” lokal sebagai narasi pandu pengembangan wisata.
Kepala Dinas Pariwisata Tangsel, Ervin, menilai pendekatan humanis tidak sekadar mempercantik destinasi, tetapi menghidupkan hubungan antara wisatawan dan warga, termasuk kearifan yang mengiringi kehidupan komunitas.

Ia menegaskan, konsep ini memungkinkan Tangsel Bercerita menjadi spirit kolektif yang menghubungkan kegiatan, event, hingga perajin craft lokal.
“Jika relasi yang dibangun berkualitas, wisata tak lagi berhenti pada kunjungan, tapi menghasilkan pemahaman, empati, dan manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Gagasan itu berangkat dari kesadaran bahwa pariwisata di kota urban penyangga seperti Tangsel membutuhkan pendekatan berbeda. Alih-alih mengandalkan atraksi besar atau destinasi buatan, Ervin menilai kota ini memiliki modal kuat pada jejaring komunitas, ingatan sejarah, dan karakter warganya.
Konsep humanis, katanya, menegaskan peran manusia sebagai pusat pengalaman, bukan sekadar objek.
Di forum yang sama, Pak Ilham Kabid Pramuka dan Kepemudaan, mengingatkan pentingnya sinergi lintas komunitas untuk memperkuat akar budaya. Ia menyebut inisiatif susur Sungai Cisadane sebagai contoh praksis yang dapat menghubungkan masyarakat dengan potensi sejarah dan ekologis sungai tersebut.
Aktivitas semacam itu, menurutnya, mampu membangun kesadaran tentang ruang hidup dan masa lalu kota.
Tokoh lain, Daeng Rahmat,Ketua Gerakan Cinta Prabowo(GCP) Tangsel menegaskan perlunya menggali akar budaya sebagai kerangka dalam setiap kegiatan pariwisata komunitas. Ia menyebut banyak kegiatan berbasis kerelawanan yang telah dilakukan Historia Tangsel, namun nilai-nilainya perlu distandardisasi agar identitas budaya Tangsel tampil lebih jelas.
“Tanpa pijakan budaya, aktivitas pariwisata hanya bergerak di permukaan,” katanya.
Ketua Umum Yayasan Historia Tangsel, Agam Pamungkas Lubah, turut memperluas wacana dengan mendorong keterlibatan unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga masyarakat sipil. Ia menilai, Tangsel The Series, agenda diskusi terbuka mingguan di Taman Eko Wisata Keramat Pulo, bisa menjadi ruang dialog yang merekatkan visi para pemangku kepentingan.
Agam menilai ruang berbasis alam terbuka itu strategis bagi pembicaraan lintas generasi, karena menghadirkan suasana akrab dan egaliter. Dengan pendekatan itu, harapannya, gagasan dan kritik warga tersampaikan tanpa sekat formal. Ia meyakini format dialog seperti ini berfungsi sebagai laboratorium budaya, tempat warga dan pemerintah sama-sama merumuskan identitas kota masa depan.
Di tengah perkembangan pesat kawasan urban Jabodetabek, komunitas budaya seperti Historia Tangsel melihat urgensi menjaga memori kolektif. Identitas kota, bagi mereka, bukan sekadar slogan atau kampanye visual, tetapi rangkaian praktik sosial yang tumbuh dari pengalaman warga.
Pariwisata humanis, sebagai kerangka kerja, memberi peluang bagi Tangsel untuk merangkai ulang jati dirinya melalui pengalaman dan cerita yang muncul dari masyarakat sendiri.(*)
Bagikan artikel ini untuk menyebarkan informasi terpercaya dari karonesia.com.
Artikel ini telah tayang di Karonesia.com dengan judul "Historia Tangsel : Pariwisata Humanis Tangsel dan Ikhtiar Merawat Identitas Lokal"
Link: https://karonesia.com/sosdikbud/historia-tangsel-pariwisata-humanis-tangsel-dan-ikhtiar-merawat-identitas-lokal/
Link: https://karonesia.com/sosdikbud/historia-tangsel-pariwisata-humanis-tangsel-dan-ikhtiar-merawat-identitas-lokal/

