Oleh: Yakub F. Ismail, Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia
Jakarta, KARONESIA.com | Tragedi yang menimpa seorang warga Suku Baduy bernama Repan di Jakarta bukan sekadar kisah pilu korban begal. Ia adalah cermin buram dari bagaimana empati dan rasa kemanusiaan diuji di jantung ibu kota.
Ketika rumah sakit menolak memberikan pertolongan hanya karena persoalan administratif, maka pertanyaan paling mendasar pun muncul, sejauh mana nurani masih menjadi dasar dalam pelayanan publik kita?
Kasus ini berawal dari peristiwa pembegalan yang dialami Repan (16 tahun) di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Remaja Baduy tersebut diserang oleh empat orang pelaku dan menderita luka sayatan cukup dalam di tangannya.
Dengan kondisi berdarah, ia berjuang mencari pertolongan medis di rumah sakit terdekat. Namun, alih-alih mendapat penanganan darurat, Repan justru ditolak lantaran tidak memiliki kartu identitas resmi.
Peristiwa ini sontak menimbulkan gelombang reaksi publik. Di tengah gegap gempita modernisasi layanan kesehatan, insiden ini menunjukkan masih adanya celah kemanusiaan yang tercecer di balik proseduralitas.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya menegaskan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada siapa pun tanpa memandang status administrasi.
Maka, penolakan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip dasar pelayanan publik dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Namun, penting pula menempatkan masalah ini dalam konteks yang lebih proporsional. Penolakan itu bukanlah cerminan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melainkan kelalaian moral dari pihak rumah sakit terkait.
Di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, Pemprov DKI justru menunjukkan komitmen kuat terhadap pelayanan kesehatan yang inklusif dan responsif bagi seluruh warga, baik ber-KTP DKI maupun pendatang sementara.
Program Jakarta Sehat yang diperluas, sistem darurat terpadu PSC 119, hingga transformasi digital layanan medis menjadi bukti nyata dari upaya tersebut. Gubernur Pramono juga berulang kali menegaskan pentingnya prinsip kesetaraan kemanusiaan: setiap nyawa harus ditolong tanpa diskriminasi suku, agama, status sosial, atau domisili.
Sayangnya, di lapangan, semangat kebijakan ini belum sepenuhnya menjelma dalam praktik pelayanan di semua institusi medis.
Kasus Repan menunjukkan bahwa kebijakan progresif sekalipun tetap bergantung pada manusia yang menjalankannya, pada nurani, empati, dan sensitivitas terhadap penderitaan orang lain. Di titik inilah, tragedi itu menjadi refleksi bersama tentang lemahnya implementasi nilai kemanusiaan dalam sistem birokrasi yang kaku.
Tragedi Repan bukan semata kasus hukum atau kesalahan administratif, melainkan peringatan moral bagi kita semua. Bahwa di balik setiap kebijakan dan sistem canggih, ada dimensi kemanusiaan yang harus terus dijaga.
Pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan tidak ada lagi warga, siapa pun dia yang kehilangan hak dasar atas pertolongan hanya karena selembar kartu identitas.
Pada akhirnya, pembangunan yang sesungguhnya bukan hanya tentang infrastruktur dan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana empati tetap hidup dalam denyut pelayanan publik. Karena tanpa itu, kota sebesar Jakarta pun akan kehilangan jiwanya sebagai kota manusia.
Editor: Lingga
© KARONESIA 2025
Link: https://karonesia.com/ragam/ketika-rasa-kemanusiaan-diuji-di-tengah-ibukota/

