Jakarta, KARONESIA.com | Gelondongan kayu yang berserak di tengah banjir Sumatera bukan sekadar pemandangan muram pascabencana. Kehadirannya mengungkap pertanyaan lebih fundamental mengenai tata kelola hutan, pengawasan negara, dan integritas data perizinan yang selama ini menjadi fondasi pengelolaan lingkungan di Indonesia. Setiap potongan kayu yang hanyut itu membawa jejak panjang aktivitas manusia: dari praktik pembalakan, kegiatan industri legal, hingga potensi pembiaran terhadap rantai distribusi kayu yang tidak diawasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan sedang menelusuri asal-usul tumpukan kayu tersebut, sebuah langkah yang patut diapresiasi. Namun publik layak berharap proses itu dilakukan secara terbuka, teliti, dan berbasis data. Banjir yang membawa material hutan dalam jumlah besar bukan fenomena alamiah semata; ia kerap menjadi indikasi perubahan tutupan lahan yang drastis dan lemahnya kontrol di lapangan.
Analisis ini menjadi penting karena Sumatera adalah salah satu wilayah dengan tingkat tekanan hutan tertinggi sejak dua dekade terakhir. Ketika bencana berulang dan kayu-kayu besar kembali muncul di aliran sungai, pertanyaan publik pun semakin keras: apakah ini akibat aktivitas legal yang tidak diawasi, praktik ilegal yang dibiarkan, atau kombinasi keduanya?
Dalam konteks ini, KLHK perlu menunjukkan ketegasan untuk mengungkap rantai penelusuran kayu dari sumber tebangan hingga lokasi konsesi terdekat. Teknologi pemantauan berbasis citra satelit serta sistem perizinan digital seharusnya mampu membantu pengusutan dengan cepat dan akurat.
Transparansi merupakan kunci, mengingat kepercayaan publik terhadap pengelolaan hutan sering kali tergerus akibat tumpang tindih regulasi dan lemahnya penegakan hukum.
Fenomena kayu hanyut ini juga memperlihatkan tantangan lain: yaitu, perubahan tata ruang yang tidak selalu sejalan dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Ketika sungai kehilangan vegetasi penyangga, material besar seperti kayu dapat terseret derasnya arus. Hal ini bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga membahayakan warga di hilir.
Oleh karena itu, investigasi bukanlah tujuan akhir. Rekomendasi kebijakan dan penguatan pengawasan harus menjadi kelanjutannya. Pemerintah daerah, otoritas kehutanan, dan penegak hukum perlu duduk bersama untuk memetakan area rawan, memperbarui basis data perizinan, serta menegakkan sanksi bagi pelanggaran yang terbukti merusak lingkungan.
Pada akhirnya, banjir Sumatera dan gelondongan kayu yang terbawa arus harus dibaca sebagai peringatan ekologis. Ia menuntut negara untuk lebih hadir, lebih transparan, dan lebih berani mengakui serta memperbaiki kelemahan tata kelola.
Masyarakat patut menunggu hasil investigasi KLHK, tetapi yang lebih penting adalah langkah konkret setelah itu. Alam telah berbicara; kini saatnya pemerintah menjawab dengan tindakan.
Editor: Lingga
© KARONESIA 2025
Link: https://karonesia.com/ragam/jejak-gelondongan-kayu-di-balik-banjir-sumatera/

