Editor: Lingga
Source: Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia
Copyright © KARONESIA 2025
KARONESIA.COM | Jakarta – Momentum Hari Buruh Internasional atau May Day bukan sekadar seremoni tahunan yang diwarnai orasi dan demonstrasi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Lebih dari itu, May Day adalah cermin reflektif yang mengajak semua pihak, baik buruh maupun pengusaha, untuk bersama menata ulang relasi kerja yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Di Indonesia, May Day tahun ini kembali menyuguhkan wajah beragam dari penyampaian aspirasi buruh. Mulai dari aksi damai, pawai solidaritas, hingga kampanye digital, semua menjadi kanal untuk menyuarakan tuntutan yang tak lekang oleh waktu: upah layak, jam kerja manusiawi, jaminan sosial, dan hubungan industrial yang setara. Namun, di balik riuh tuntutan itu, terdapat satu benang merah yang sering luput dari perbincangan: keberlangsungan dunia usaha sebagai mitra strategis buruh.
Tidak dapat dimungkiri, kemajuan sektor buruh sejatinya terkait erat dengan kekuatan dunia usaha. Jika usaha tumbuh, lapangan kerja terbuka. Jika usaha terhimpit regulasi dan beban biaya, dampaknya pun akan menekan peluang kerja. Kenyataan ini terasa jelas pada wajah UMKM yang kerap kesulitan mengakses modal, atau industri besar yang terdampak ketidakpastian hukum dan tumpang tindih regulasi. Di satu sisi, buruh menuntut keadilan; di sisi lain, pengusaha berjuang untuk bertahan di tengah gelombang tantangan ekonomi.
May Day seharusnya menjadi ruang untuk mendudukkan persoalan ini secara komprehensif. Tidak cukup sekadar memotret tuntutan di permukaan, tetapi juga menyelami akar masalah yang menghambat kolaborasi buruh-pengusaha. Perspektif proporsional perlu diutamakan: buruh berhak atas pekerjaan layak dan upah yang memadai, sementara pengusaha berhak atas kepastian hukum, perlindungan usaha, dan iklim usaha yang sehat.
Di tingkat global, angka pengangguran Indonesia masih menjadi sorotan. Data International Monetary Fund (IMF) mencatat tingkat pengangguran Indonesia mencapai 5,2 persen pada April 2024, tertinggi di Asia Tenggara. Meski terjadi penurunan tipis dari tahun sebelumnya, tantangan nyata tetap membayangi. Pemerintah pun dihadapkan pada agenda besar: menciptakan kebijakan yang bukan hanya populis, tetapi strategis dan berjangka panjang.
Langkah-langkah seperti stabilitas regulasi, insentif pajak untuk sektor padat karya, kemudahan ekspor-impor, hingga penguatan pendidikan vokasi yang sesuai kebutuhan industri adalah contoh keberpihakan nyata yang perlu diperkuat. Regulasi yang hanya berpihak pada satu sisi berpotensi memicu kegagalan sistemik yang merugikan seluruh pihak.
Kini saatnya menolak dikotomi buruh-pengusaha yang kerap digoreng dalam narasi konflik. Sebaliknya, May Day harus dimaknai sebagai panggung persatuan untuk membangun ekosistem kerja yang adil, sejahtera, dan produktif. Dunia usaha dan buruh perlu berjalan beriringan sebagai dua pilar utama penggerak perekonomian bangsa. Hanya dengan kebersamaan dan semangat gotong royong, cita-cita kesejahteraan dan kemajuan bersama bisa diwujudkan, bukan sekadar menjadi slogan tahunan di setiap perayaan Hari Buruh. (#)