Jakarta,KARONESIA.com| Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia kembali diingatkan pada makna terdalam dari perjuangan dan pengorbanan. Tahun ini, peringatan Hari Pahlawan mendapat warna berbeda ketika Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh, termasuk dua mantan Presiden: Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Soeharto.
Kedua nama itu menyimpan sejarah panjang, bahkan kontroversial, dalam perjalanan bangsa. Gus Dur dikenang sebagai simbol toleransi dan kemanusiaan, sementara Soeharto menorehkan era pembangunan sekaligus jejak kekuasaan panjang yang tidak lepas dari kritik.
Namun, keputusan pemerintah menganugerahkan gelar tertinggi negara kepada keduanya dapat dibaca sebagai upaya rekonsiliasi nasional sebuah langkah untuk merangkul seluruh bab sejarah tanpa menafikan luka masa lalu.
Dalam konteks kebangsaan, pengakuan terhadap jasa para tokoh lintas zaman mencerminkan kematangan politik dan moral bangsa. Negara tidak hanya menilai satu sisi dari perjalanan sejarah, tetapi mengajak rakyat untuk melihat dengan kearifan: bahwa setiap masa, betapa pun rumitnya, meninggalkan warisan berharga bagi kemajuan Indonesia.
Nama-nama lain seperti Marsinah, pekerja buruh yang gugur memperjuangkan hak pekerja, juga mengingatkan bahwa gelar pahlawan bukan monopoli para pejabat atau tokoh besar.
Ia adalah simbol keberanian dan pengorbanan, baik di medan perang maupun dalam memperjuangkan keadilan sosial.
Penetapan Tuan Rondahaim Saragih Garingging dari Simalungun, Sumatera Utara, turut memperluas horizon kepahlawanan. Ia bukan sekadar tokoh lokal, melainkan representasi semangat perlawanan rakyat terhadap penjajahan di tanah Sumatera Timur. Sejarah lokal seperti ini menegaskan bahwa semangat heroik tumbuh di berbagai penjuru Nusantara.
Penganugerahan tahun 2025 sebagai momentum memperkuat semangat persatuan dalam keberagaman. Ketika bangsa mau mengakui jasa tokoh dari berbagai latar politik, agama, etnis, hingga profesi maka di sanalah jembatan kebangsaan dibangun di atas fondasi penghormatan dan pengakuan.
Tugas kita selanjutnya bukan berhenti pada seremoni, melainkan memastikan nilai-nilai perjuangan itu hidup dalam tindakan nyata: kejujuran, keberanian, dan dedikasi terhadap kebenaran. Karena pahlawan sejati bukan hanya mereka yang dikenang, tetapi juga mereka yang meneladani.(*)
Editorial: Redaksi
© KARONESIA 2025
Link: https://karonesia.com/ragam/dua-presiden-jadi-pahlawan-nasional-momentum-menyembuhkan-luka-sejarah/

