Iklan Karonesia
Home » Berita » Menafsir Gugatan Pemberhentian Dewan oleh Masyarakat

Menafsir Gugatan Pemberhentian Dewan oleh Masyarakat

Penulis: Yakub F. Ismail, Direktur Eksekutif INISIATOR

Jakarta,KARONESIA.com | Gelombang kegelisahan publik kembali menyeruak ketika sekelompok mahasiswa membawa persoalan krusial ke Mahkamah Konstitusi (MK): siapa yang seharusnya berwenang memberhentikan anggota DPR? Di tengah kekecewaan masyarakat terhadap perilaku wakil rakyat yang jauh dari etika publik, gugatan ini muncul sebagai penanda bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola demokrasi perwakilan kita. Demokrasi yang semestinya berpihak pada rakyat justru terlihat tunduk pada struktur partai, menyisakan ruang kosong dalam mekanisme akuntabilitas.

Akar Kegelisahan Publik

Kasus beberapa anggota DPR yang bertingkah tidak senonoh bukan hanya menjadi tontonan yang menyesakkan, tetapi juga memicu amarah publik. Di sejumlah daerah, aksi demonstrasi berubah menjadi tindakan destruktif: rumah anggota dewan dirusak sebagai bentuk frustrasi atas minimnya mekanisme koreksi formal. Fenomena ini, meski tidak etis dalam perspektif demokrasi, menyimpan pesan penting: masyarakat ingin mempertanyakan pertanggungjawaban wakil yang mereka pilih.

Dalam demokrasi, mandat adalah titipan. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan seharusnya memiliki instrumen untuk menarik kembali kepercayaannya. Namun realitas di Indonesia berbeda. Sistem hukum menempatkan partai politik sebagai satu-satunya pintu untuk memberhentikan anggota dewan. Ketika seorang legislator melakukan pelanggaran etik atau mengabaikan aspirasi publik, masyarakat hanya bisa menghela napas panjang sambil mencaci dalam sunyi. Mandat yang lahir dari suara rakyat justru disandera oleh kalkulasi politik internal partai.

Itulah sebabnya mahasiswa memandang situasi ini sebagai bentuk democratic deficit—jurang pengawasan yang tercipta antara wakil dan yang diwakili. Gugatan mereka bukan sekadar reaksi emosional, melainkan refleksi atas keretakan dalam hubungan representasi politik. Mereka mengusulkan mekanisme baru seperti recall konstituen atau petisi publik yang mengikat, sehingga masyarakat dapat terlibat langsung dalam evaluasi mandat.

Gugatan dan Tafsir Demokrasi

Secara normatif, MK selama ini mengakui peran sentral partai politik—dari pencalonan hingga konsolidasi kekuasaan. Karena itulah MK cenderung berhati-hati terhadap upaya “mengamputasi” kewenangan partai. Namun sejarah juga menunjukkan MK punya kecenderungan progresif dalam memperluas ruang akuntabilitas publik. Dalam beberapa putusan, MK menegaskan pentingnya transparansi dan kedaulatan rakyat dalam mengawasi pemegang kekuasaan.

Maka tidak berlebihan jika gugatan mahasiswa dibaca sebagai upaya memulihkan keseimbangan dalam demokrasi perwakilan. Tujuannya bukan melemahkan partai, tetapi menguatkan rakyat sebagai pemilik legitimasi tertinggi. Jika MK membuka ruang bagi masyarakat untuk mengajukan pemberhentian anggota DPR, mekanisme baru ini dapat menjadi katalis bagi perbaikan kualitas politik nasional.

Dampak bagi Demokrasi dan Publik

Bila gugatan mahasiswa ini dikabulkan MK, ada beberapa dampak penting bagi kehidupan demokrasi.

Pertama, kontrol publik akan meningkat signifikan. Anggota DPR pusat maupun daerah akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas, menjaga etika politik, serta menghindari konflik kepentingan—karena kini mereka berhadapan langsung dengan penilaian konstituen.

Kedua, hubungan antara wakil dan yang diwakili akan menjadi lebih substantif. Demokrasi tidak lagi berhenti pada seremoni pemilu lima tahunan, tetapi hadir sebagai hubungan yang hidup dan dinamis.

Ketiga, partai politik dipaksa berbenah. Mereka tidak bisa lagi menyembunyikan atau melindungi kader bermasalah. Tekanan konstituen akan menjadi variabel baru dalam penegakan disiplin dan seleksi kader.

Keempat, kualitas legislasi berpotensi membaik. Anggota dewan yang takut kehilangan mandat akan lebih serius menyerap aspirasi publik, hadir dalam rapat, dan menjaga integritas pribadi. Politik tidak lagi sekadar arena transaksional, tetapi ruang pelayanan publik.

Semua ini pada akhirnya membawa demokrasi Indonesia selangkah lebih dekat pada substansinya: pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk rakyat.

Gugatan mahasiswa ke MK adalah salah satu momen terpenting dalam perdebatan tentang demokrasi perwakilan kita. Ia membuka ruang dialog baru tentang siapa sesungguhnya pemilik mandat politik: partai atau rakyat. Terlepas dari bagaimana MK memutuskan perkara ini, gugatan tersebut menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak boleh menjauh dari kehendak publik. Indonesia membutuhkan mekanisme yang memungkinkan rakyat menegur, mengevaluasi, bahkan mencabut mandat dari para wakilnya.

Jika kita ingin membangun demokrasi yang matang, maka akuntabilitas harus kembali ke tangan pemilik kedaulatan tertinggi: masyarakat itu sendiri.(*)

Bagikan artikel ini untuk menyebarkan informasi terpercaya dari karonesia.com.

Foto Editor

Editor: Lingga
© KARONESIA 2025

Artikel ini telah tayang di Karonesia.com dengan judul "Menafsir Gugatan Pemberhentian Dewan oleh Masyarakat"
Link: https://karonesia.com/nasional/menafsir-gugatan-pemberhentian-dewan-oleh-masyarakat/

Iklan ×