Iklan Karonesia

IMO-Indonesia dan Perjuangan Media Online dalam Revisi UU Pers

“Regulasi yang baik bukan hanya tentang aturan, tetapi bagaimana aturan itu diterapkan secara adil bagi semua.”

Karonesia.com_20250319_135013_000

Jakarta (KARONESIA.COM) – Wacana revisi Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 kembali bergulir setelah Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mengangkat isu tersebut ke ruang publik. Reaksi pun bermunculan dari berbagai kalangan, salah satunya Ikatan Media Online (IMO) Indonesia yang langsung menyusun usulan agar revisi ini benar-benar mengakomodasi tantangan pers modern, khususnya bagi media siber.

Di tengah lanskap media yang terus berkembang, revisi ini bisa menjadi langkah maju atau justru menimbulkan polemik baru. Harapannya, regulasi yang dihasilkan mampu menciptakan keadilan bagi semua pelaku industri pers, baik media besar maupun media kecil yang selama ini berjuang di tengah tantangan ekonomi dan regulasi yang belum berpihak.

Tantangan Media Siber dalam Lanskap Pers Indonesia

Ketua Umum IMO-Indonesia, Yakub F. Ismail, Rabu (19/03/2025), menyatakan bahwa revisi ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki ketimpangan yang selama ini terjadi. “Menurut saya ini kabar baik yang wajib disambut serius oleh seluruh pelaku dan industri media tanah air,” ujarnya.

Ia menyoroti perkembangan pesat media siber yang, sayangnya, belum diiringi dengan regulasi yang adil dan perlindungan hukum yang memadai. Banyak media online menghadapi berbagai hambatan, mulai dari akses keanggotaan organisasi pers yang terbatas hingga perlakuan yang tidak setara dibandingkan media mainstream.

Keberadaan lembaga pengayom pers yang diharapkan bisa menjadi penengah juga dinilai belum optimal. “Kesetaraan media dan kesamaan visi dalam menjunjung kode etik jurnalistik menjadi prinsip kerja dan pegangan norma bersama,” tambah Yakub.

Namun, kenyataannya, banyak media kecil masih sulit mendapatkan pengakuan resmi, meskipun peran mereka dalam menyebarluaskan informasi sangat besar. Jika revisi UU Pers tidak diarahkan dengan baik, ada risiko media online semakin termarginalisasi dalam ekosistem pers nasional.

Kesetaraan Regulasi: Harapan atau Ilusi?

Dalam usulan yang diajukan, IMO-Indonesia menekankan pentingnya pengakuan terhadap media nonmainstream sebagai bagian dari ekosistem pers yang sah. Organisasi ini mengusulkan agar semua organisasi media dapat diakui sebagai konstituen dan diberikan kejelasan dalam pengelompokannya.

“Harapan kita ke depan, semua dapat sama dan setara dalam menjalankan usaha di sektor media di bawah pedoman UU Pers dan kode etik jurnalistik,” jelas Yakub.

Jika regulasi yang dihasilkan masih berpihak kepada media besar atau hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, maka revisi ini bisa menjadi bumerang. Media online yang jumlahnya terus bertambah akan tetap berada di zona abu-abu, tanpa kepastian hukum yang jelas.

Hal ini bisa berdampak buruk pada kebebasan pers. Jika regulasi baru justru semakin membatasi ruang gerak media siber, maka yang dirugikan bukan hanya insan pers, tetapi juga publik yang berhak mendapatkan informasi dari berbagai sumber.

Menatap Masa Depan Pers Indonesia

Di era digital saat ini, media online telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Namun, tantangan besar masih mengadang. Dari masalah keberlanjutan bisnis hingga kebijakan yang belum berpihak, media siber harus terus beradaptasi dan berjuang untuk mendapatkan tempat yang setara.

Revisi UU Pers bisa menjadi momentum penting untuk menciptakan ekosistem pers yang lebih adil. Namun, semua pihak harus memastikan bahwa revisi ini benar-benar menjawab tantangan zaman, bukan sekadar wacana tanpa implementasi nyata.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Yakub, “Regulasi yang baik bukan hanya tentang aturan, tetapi juga bagaimana aturan itu bisa diterapkan secara adil bagi semua.” (@2025)

error: Content is protected !!