Catatan Politik Senayan: Merawat Asa Good Governance di Tengah Perilaku Koruptif
“Kegagalan mewujudkan good governance yang berulang-ulang bisa berakibat fatal bagi bangsa.”

Oleh: Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan (UNHAN)
Jakarta (KARONESIA.COM) – Fenomena korupsi yang semakin marak dengan berbagai modus operandi telah mencederai cita-cita bangsa dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan efektif (good governance). Reformasi birokrasi yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade tampaknya belum mampu mereduksi perilaku koruptif yang mengakar di berbagai institusi negara dan daerah.
Masyarakat kini seolah kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahan, kekecewaan, bahkan kepedihan mereka terhadap kasus-kasus korupsi yang terus bermunculan. Harapan yang dulu menggebu-gebu saat reformasi dicanangkan pada 1998 kini tampak memudar. Bahkan, sebagian masyarakat mulai pasrah dan enggan membahas persoalan ini karena menganggap upaya pemberantasan korupsi nyaris tak membuahkan hasil.
Tiga Dekade Pemberantasan Korupsi yang Minim Hasil
Komitmen bangsa untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah ditegaskan sejak reformasi 1998. Salah satu langkah strategisnya adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta pelaksanaan reformasi birokrasi. Selama lebih dari tiga dekade, berbagai upaya dilakukan secara konsisten, dengan banyak koruptor ditangkap dan diadili, mulai dari pejabat tinggi seperti menteri, gubernur, dan bupati, hingga pegawai rendahan di kementerian dan lembaga (K/L).
Namun, tragisnya, semua langkah itu belum mampu menimbulkan efek jera. Alih-alih berkurang, perilaku koruptif justru semakin ganas dan berani. Bahkan, skala nilai korupsi pun terus membengkak. Jika sebelumnya hanya berkisar puluhan atau ratusan miliar rupiah, kini angkanya meroket hingga ratusan triliun rupiah.
Beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan dengan berbagai kasus korupsi berskala besar. Mulai dari penyalahgunaan anggaran bantuan sosial (Bansos), di mana dari total Rp 500 triliun yang dianggarkan, setidaknya separuhnya tidak tepat sasaran. Kemudian, korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang merugikan negara Rp 11,7 triliun, serta kasus di PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) yang menyebabkan kerugian Rp 893 miliar.
Tak berhenti di situ, negara juga mengalami kerugian Rp 16,8 triliun akibat korupsi di Jiwasraya dan Rp 300 triliun dalam kasus tata niaga timah. Puncaknya, kasus mega korupsi pengoplosan bensin yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun, yang tidak hanya menguras keuangan negara, tetapi juga merugikan masyarakat sebagai konsumen.
Sejarah Mega Korupsi: Dari BLBI hingga e-KTP
Kasus korupsi berskala besar bukanlah fenomena baru. Di masa lalu, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi salah satu kasus terbesar yang menyita perhatian publik. Pada 1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank yang mengalami krisis likuiditas. Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Selain itu, kasus korupsi proyek e-KTP pada 2010-2012 juga menjadi sorotan. Dalam proyek ini, negara mengalami kerugian Rp 2,314 triliun akibat praktik korupsi yang melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat tinggi pemerintahan.
Fakta-fakta ini menggambarkan betapa mengerikannya dampak korupsi terhadap masa depan bangsa. Jika perilaku koruptif terus merajalela di berbagai kementerian dan lembaga (K/L), masihkah ada harapan untuk mewujudkan good governance? Reformasi birokrasi seperti apa lagi yang diperlukan agar cita-cita itu dapat tercapai?
Peringatan Presiden Prabowo: Ketegasan dalam Penegakan Hukum
Dalam konteks ini, perlu diingat kembali pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat memberikan pembekalan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Jakarta pada akhir Januari 2025. Presiden menegaskan bahwa semua undang-undang (UU), peraturan presiden (Perpres), peraturan pemerintah, serta produk hukum lainnya tidak akan berarti jika tidak ditegakkan dengan konsisten.
Pernyataan ini sejatinya merupakan perintah bagi semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menjalankan aturan yang ada dengan benar dan konsisten. Tujuannya jelas, yakni untuk mewujudkan good governance demi kebaikan bangsa, baik saat ini maupun di masa depan. Jika upaya ini gagal dan korupsi terus berulang, maka ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah hanya akan semakin membesar.
Minimnya Progres dan Lemahnya Pengawasan Internal
Melihat berbagai fakta kasus korupsi yang terus meningkat, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi selama puluhan tahun masih minim progres. Selama satu dekade terakhir, korupsi semakin merajalela dengan modus yang semakin canggih dan skala yang semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang telah berjalan belum mampu menghilangkan peluang tindak pidana korupsi.
Bagi masyarakat, besarnya angka korupsi hingga ratusan triliun rupiah mencerminkan bahwa tidak semua kementerian dan lembaga menunjukkan itikad baik dalam memberantas korupsi di lingkungan masing-masing. Sebaliknya, yang tampak adalah terbentuknya kelompok-kelompok kejahatan terorganisir dalam tubuh sejumlah K/L yang dengan sengaja merampok keuangan negara dan menipu rakyat.
Kondisi ini juga mengindikasikan lemahnya pengawasan internal di berbagai K/L. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Inspektorat Jenderal (Itjen) dalam melakukan pengawasan internal tampaknya tidak berjalan efektif. Ketidakmampuan pengawasan internal inilah yang membuat perilaku koruptif semakin subur.
Mencari Strategi Baru: Harapan untuk Masa Depan
Untuk merawat asa dalam mewujudkan good governance, pemerintah dan DPR perlu segera merumuskan strategi baru dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, model reformasi birokrasi yang lebih efektif juga harus dirancang guna menekan perilaku koruptif di kementerian, lembaga, dan institusi daerah.
Yang tak kalah penting adalah memulihkan peran dan fungsi Inspektorat Jenderal dalam melakukan pengawasan internal. Jika pengawasan diperketat dan aturan ditegakkan dengan lebih disiplin, maka peluang bagi oknum koruptor untuk menyalahgunakan wewenang akan semakin kecil.
Pada akhirnya, good governance harus tetap menjadi cita-cita yang diperjuangkan. Harapan itu tidak boleh pupus, meski terus-menerus dirusak oleh perilaku tamak dan koruptif dari oknum yang diberi amanah untuk mengelola negara. Sebab, masa depan bangsa bergantung pada kesungguhan kita dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. (@2025)