Penulis:Alex A. Putra Advokat & Konsultan Hukum
Jakarta, KARONESIA.com | Langkah Pemerintah Daerah Banten menonaktifkan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, menuai sorotan dari kalangan hukum. Tindakan administratif yang diambil tanpa proses pemeriksaan dan dasar hukum yang jelas dinilai melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Sebagai pejabat publik dalam struktur Aparatur Sipil Negara (ASN), kepala sekolah tidak bisa diberhentikan secara sepihak. Menurut UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, penonaktifan hanya dapat dilakukan dengan alasan sah, didukung bukti pelanggaran disiplin, atau dalam proses hukum yang sedang berjalan — setelah melewati mekanisme pemeriksaan dan klarifikasi.
Jika tahapan itu diabaikan, keputusan penonaktifan menjadi cacat hukum dan bertentangan dengan asas kepastian hukum serta proporsionalitas. Prinsip dasar dalam AUPB juga mengatur bahwa setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan hukum yang jelas, terbuka, akuntabel, dan berkeadilan.
“Tidak boleh ada keputusan sepihak tanpa pemeriksaan dan hak pembelaan. Itu bukan hanya melanggar hukum administrasi, tetapi juga mencederai prinsip keadilan,” tegas Alex A. Putra, Advokat dan Konsultan Hukum.
Menurutnya, penonaktifan kepala sekolah secara mendadak sering kali melanggar empat asas penting dalam AUPB:
Asas Kepastian Hukum — setiap keputusan wajib memiliki dasar hukum tertulis;
Asas Keterbukaan — pihak yang dikenai keputusan berhak tahu alasan dan bukti yang dijadikan dasar;
Asas Akuntabilitas — pejabat pembuat keputusan harus dapat mempertanggungjawabkannya secara moral dan hukum;
Asas Keadilan — keputusan tidak boleh bersifat sewenang-wenang atau bernuansa politis.
Kepala sekolah, kata Alex, bukanlah jabatan politik yang bisa diperlakukan sebagai objek kekuasaan. “Kepala sekolah tunduk pada sistem merit ASN, bukan pada selera atau tekanan politik,” ujarnya.
Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh
Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, atau siapa pun ASN yang mengalami hal serupa, dapat menempuh tiga jalur hukum:
Keberatan administratif kepada pejabat atasan langsung (Kepala Dinas Pendidikan atau Gubernur);
Jika tidak ada respons dalam 10–30 hari kerja, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN);
Laporan ke Inspektorat Provinsi atau Komisi ASN (KASN) atas dugaan pelanggaran prosedur.
Langkah ini bukan semata-mata pembelaan individu, melainkan koreksi terhadap potensi penyimpangan kekuasaan agar sistem pemerintahan tetap berjalan sesuai prinsip hukum dan keadilan.
Penutup / Refleksi
Kasus penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga menjadi pengingat bahwa kekuasaan tanpa batas hukum akan menimbulkan ketidakadilan. Pemerintah daerah perlu berhati-hati dalam menerbitkan keputusan administratif yang berdampak pada karier ASN.
Negara hukum tidak boleh membiarkan keputusan sepihak yang mencederai hak-hak pegawai negeri. Kebijakan publik harus berpijak pada hukum, bukan pada kepentingan kekuasaan.(*)

Editor: Lingga
© KARONESIA 2025
Link: https://karonesia.com/hukum/penonaktifan-kepala-sekolah-sman-1-cimarga-ketika-kekuasaan-melampaui-hukum/