Iklan Karonesia
Home » Berita » JAM-Pidum Setujui 9 Restorative Justice, Termasuk Kasus di Morowali

JAM-Pidum Setujui 9 Restorative Justice, Termasuk Kasus di Morowali

Jakarta, KARONESIA.COM | Restorative justice kembali menjadi sorotan ketika Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual, (30/9/2025). Dalam forum itu, ia menyetujui sembilan perkara untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif, termasuk kasus pencurian yang menimpa warga Morowali. Keputusan ini sekaligus menegaskan arah baru Kejaksaan dalam menempatkan pemulihan sosial di atas pendekatan hukum yang hanya menekankan hukuman.

Salah satu perkara yang menjadi perhatian publik adalah kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh M Rizki bin Ahmad Gazali bersama rekannya, Muhammad Alfiyan bin Khairullah (Alm). Keduanya terjerat Pasal 363 KUHP setelah membawa lari motor milik warga saat berada di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Dari hasil penyidikan, motor itu akhirnya digadaikan hanya Rp800 ribu, sementara korban mengalami kerugian Rp5 juta. Namun setelah proses perdamaian berlangsung pada 16 September 2025, korban bersedia memaafkan. Proses damai itu menjadi dasar pengajuan penghentian penuntutan ke Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, hingga akhirnya disetujui JAM-Pidum.

Tidak hanya kasus tersebut, delapan perkara lain juga mendapat persetujuan penyelesaian dengan cara serupa. Daftarnya mencakup tindak pidana penganiayaan di Merauke, Halmahera Barat, Kotawaringin Timur, dan Lamandau; kasus penadahan di Tanah Bumbu; tindak kekerasan dalam rumah tangga di Muara Enim dan Kotawaringin Barat; hingga perkara pencurian dalam keluarga di Langsa. Polanya mirip: tersangka baru pertama kali berhadapan dengan hukum, ancaman pidana di bawah lima tahun, serta adanya perdamaian sukarela antara pelaku dan korban.

Mengapa langkah ini penting? Restorative justice menekankan keseimbangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam perkara-perkara ringan, membawa kasus ke meja hijau kerap tidak menambah manfaat, bahkan bisa memicu konflik sosial baru. Dengan perdamaian, hubungan antarwarga bisa dipulihkan, korban tidak merasa dirugikan lagi, dan pelaku mendapat kesempatan memperbaiki diri. Tidak heran, Kejaksaan menegaskan bahwa masyarakat juga merespons positif pola penyelesaian semacam ini.

Dalam siaran pers, JAM-Pidum menegaskan, “Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.” Pernyataan itu menegaskan bahwa setiap keputusan bukan sekadar inisiatif, melainkan dilandasi pedoman hukum yang jelas dan instrumen administratif yang kuat.

Publik tentu bisa melihat bahwa mekanisme ini bukan sekadar alternatif, tetapi bagian dari strategi penegakan hukum modern. Restorative justice memberi ruang penyelesaian lebih manusiawi, menekankan perdamaian, dan mengurangi beban perkara di pengadilan. Pertanyaan yang tersisa: apakah langkah ini konsisten diterapkan ke depan, dan bagaimana dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum?

Jika konsistensi terjaga, restorative justice bisa menjadi jalan tengah yang menyeimbangkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan sosial. Bukan hanya perkara ringan yang terselesaikan, tetapi juga tumbuh budaya hukum baru yang lebih sehat di masyarakat.(*)

Bagikan artikel ini untuk menyebarkan informasi terpercaya dari karonesia.com.

Foto Editor

Editor: Lingga
© KARONESIA 2025

Artikel ini telah tayang di Karonesia.com dengan judul "JAM-Pidum Setujui 9 Restorative Justice, Termasuk Kasus di Morowali"
Link: https://karonesia.com/hukum/jam-pidum-setujui-9-restorative-justice-termasuk-kasus-di-morowali/

Iklan ×