JAM-Pidum Setujui 5 Restorative Justice, Termasuk Kasus Pencurian di Aceh

“Restorative Justice bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang memulihkan hubungan sosial.”

Restorative Justice_20250224_160509_0000

Jakarta (KARONESIA.COM) – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui penghentian penuntutan terhadap lima perkara pidana melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). Keputusan ini diumumkan dalam ekspose virtual, Senin, (24/02/2025). Salah satu perkara yang disetujui untuk dihentikan adalah kasus pencurian di Aceh yang melibatkan tersangka Fadhlul Munawar bin M. Saleh.

Perkara ini ditangani oleh Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kota Bakti. Fadhlul Munawar sebelumnya disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian juncto Pasal 53 Ayat (1) KUHP. Berdasarkan kronologi, peristiwa terjadi pada 14 Desember 2024, ketika tersangka mencoba mengambil sepeda motor yang terparkir di teras rumah menggunakan kunci milik kendaraan lain. Upaya tersebut gagal, namun keberadaan kunci yang tertinggal di motor menyebabkan tersangka diamankan warga dan kemudian diserahkan ke Polsek Geumpang, Polres Pidie.

Baca Juga :  Kejaksaan Agung Periksa 2 Saksi Terkait Kasus Korupsi Impor Gula

Menanggapi perkara ini, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kota Bakti, Yudha Utama Putra, S.H., menginisiasi penyelesaian kasus melalui mekanisme Restorative Justice. Dalam proses mediasi, tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban. Korban pun menerima permintaan maaf dan meminta agar proses hukum dihentikan karena tidak ada kerugian materiil.

Atas dasar kesepakatan tersebut, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pidie mengajukan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Muhibuddin, S.H., M.H., yang kemudian menyetujuinya dan meneruskan permohonan kepada JAM-Pidum. Setelah melalui kajian, Kejaksaan Agung menyetujui penghentian perkara ini dalam ekspose yang digelar pada 24 Februari 2025.

Selain kasus di Aceh, terdapat empat perkara lain yang dihentikan melalui mekanisme Restorative Justice, yaitu perkara pencurian yang melibatkan Selpius Iba dari Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni, perkara penganiayaan yang melibatkan Riki Jhon Barnes Liliefna dari Cabang Kejaksaan Negeri Maluku Tengah di Wahai, perkara penipuan dan penggelapan yang melibatkan Werry Rusandi bin Rusadji dari Kejaksaan Negeri Pontianak, serta perkara penghinaan yang melibatkan M. Yusuf bin Alm. Ansari dari Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya.

Baca Juga :  Kejaksaan Agung Periksa 3 Saksi dan 7 Tersangka Dugaan Korupsi Pertamina

Penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya bahwa telah dilaksanakan proses perdamaian di mana tersangka meminta maaf dan korban memaafkan, tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun, serta kesepakatan damai terjadi secara sukarela tanpa tekanan atau intimidasi. Selain itu, masyarakat merespons positif langkah ini, yang dianggap lebih mengedepankan keadilan sosial dibandingkan dengan pendekatan hukum konvensional.

Baca Juga :  Perkara Komoditas Timah PT Timah Tbk, Tim Penyidik JAMPIDSUS Lakukan Penggeledahan Dan Penyitaan

JAM-Pidum menekankan bahwa seluruh Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang menangani perkara serupa harus menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Restorative Justice. Keputusan ini merujuk pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi bentuk kepastian hukum yang lebih berkeadilan serta mencerminkan pendekatan hukum yang lebih humanis dan mengedepankan pemulihan sosial. (@2025)

error: Content is protected !!