Jakarta, KARONESIA.com | Penghentian penyelidikan kasus dugaan kekerasan terhadap anak di Bengkulu Utara menuai sorotan publik setelah advokat Toenjes Swansen Maniagasi, S.H., menilai langkah Polres Bengkulu Utara tersebut tidak sah secara hukum. Ia menyebut Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan (SP3) Nomor B/848/V/Res.1.6/2022/Reskrim bertentangan dengan asas kehati-hatian dan prinsip due process of law.
Kasus ini berawal dari laporan Rasida Sumardi, warga Desa Talang Rasau, Kecamatan Lais, yang juga nenek dari korban anak berusia 13 tahun. Laporan dibuat pada Maret 2022, setelah korban mengalami kekerasan fisik yang diduga dilakukan oleh dua orang pelaku, salah satunya masih berusia 14 tahun.
Menurut laporan awal, penyidik Polres Bengkulu Utara menemukan indikasi kuat adanya unsur penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Namun, tiga bulan kemudian, perkara tersebut dihentikan dengan alasan “tidak cukup bukti”.
Diduga Tak Sesuai KUHAP
Advokat Toenjes menilai alasan penghentian tersebut tidak proporsional. Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan jika memang tidak terdapat bukti yang cukup, peristiwa bukan tindak pidana, atau demi hukum.
“Dalam perkara ini terdapat bukti awal yang cukup kuat, termasuk keterangan saksi korban, visum et repertum yang menunjukkan luka fisik, serta saksi keluarga dan tetangga yang melihat langsung kejadian,” ujarnya dalam siaran pers.
Ia menambahkan, penghentian perkara tanpa pemeriksaan lanjutan dan tanpa supervisi kejaksaan merupakan bentuk pengabaian terhadap hak anak korban kekerasan. “Ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum perlindungan anak,” tambah Toenjes saat mendampingi kliennya melaporkan kasus tersebut ke Ombusmen,Jakarta, (13/11/2025).
Korban Alami Luka Serius
Dari keterangan saksi dan dokumen visum, korban mengalami luka robek di jari, memar di dada dan perut akibat tekanan, lebam di leher, serta bengkak di kepala akibat pukulan berulang. Korban juga sempat mengalami sesak napas dan hampir pingsan.
Pelaku dewasa, Hasma Delli (40), dan pelaku anak, Melky Tepka (14), disebut-sebut memiliki hubungan keluarga dengan salah satu oknum anggota Polsek Lais. Setelah melakukan kekerasan, keduanya meninggalkan lokasi kejadian.
Sejumlah saksi, termasuk warga bernama Akbar, menyatakan bahwa pelaku dewasa sempat membekap korban dari belakang hingga terengah-engah. “Korban memohon dilepaskan, tapi pelaku tidak menghiraukan. Baru berhenti setelah warga datang,” ujar saksi dalam berkas laporan.
Indikasi Tekanan dan Perdamaian Paksa
Kasus ini semakin kompleks ketika keluarga korban justru terlibat sengketa lanjutan dengan pihak pelaku. Salah satu kerabat korban, Rama, dilaporkan balik ke polisi setelah terlibat pertengkaran dengan pelaku.
Dalam proses tersebut, keluarga korban mengaku dipaksa membayar denda Rp15 juta kepada pihak pelaku di Polsek Lais sebagai syarat “perdamaian”. Ancaman penahanan disebut turut mewarnai kesepakatan tersebut. “Ini bentuk tekanan psikis terhadap keluarga korban,” kata Toenjes.
Desakan Peninjauan Ulang
Berdasarkan berbagai temuan tersebut, Toenjes mendesak Polres Bengkulu Utara untuk meninjau kembali SP3 kasus ini dan memastikan supervisi kejaksaan dilakukan secara prosedural. Ia menilai, tanpa langkah korektif, penghentian perkara seperti ini dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah.
“Anak sebagai korban kekerasan berhak atas perlindungan maksimal. Penghentian perkara tanpa dasar hukum yang kuat sama saja dengan menutup akses keadilan,” tegasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan sejumlah lembaga pemerhati anak dan aktivis hukum di Bengkulu, yang menilai perlu adanya audit penanganan perkara serta perlindungan hukum bagi keluarga korban.(*)
Editor: Lingga
© KARONESIA 2025
Link: https://karonesia.com/hukum/advokat-toenjes-maniagasi-minta-sp3-kasus-kekerasan-anak-di-bengkulu-utara-ditinjau-ulang/

