Home » Berita » Mahupiki Ajukan 7 Poin Masukan Revisi RUU KUHAP di DPR

Mahupiki Ajukan 7 Poin Masukan Revisi RUU KUHAP di DPR

Jakarta, KARONESIA – Organisasi Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) menyampaikan tujuh poin masukan kepada Komisi III DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Masukan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/07/2025).

Ketua Umum Mahupiki, Firman Wijaya, menegaskan bahwa Mahupiki mendukung penuh proses pembahasan RUU KUHAP, namun menekankan perlunya revisi pada sejumlah pasal yang dinilai krusial untuk menjamin keseimbangan penegakan hukum.

Salah satu poin utama yang diusulkan adalah perlunya batas waktu penyelidikan. Menurut Firman, Pasal 5 RUU KUHAP belum mengatur ketentuan tersebut secara eksplisit. “Kami mengusulkan batas maksimal enam bulan dalam proses penyelidikan untuk menghindari ketidakpastian hukum,” ujarnya.

Selanjutnya, Mahupiki juga menyoroti perlunya evaluasi terhadap posisi penyidik tertentu, termasuk istilah “Penyidik Utama” dalam Pasal 6 ayat (2), yang dinilai belum memiliki kejelasan fungsi dan wewenangnya.

Baca Juga :  Kejagung Gelar Edukasi Hukum: Pencegahan TPPU Kepada Artis dan Pengusaha

Terkait proses penuntutan, Mahupiki menilai jangka waktu 14 hari untuk melengkapi berkas perkara setelah adanya perbedaan pandangan antara penyidik dan jaksa penuntut umum terlalu singkat. Firman menyarankan agar waktu tersebut diperpanjang hingga 60 hari guna menjaga prinsip check and balances.

Mahupiki juga mengusulkan perluasan cakupan praperadilan, termasuk terhadap pelanggaran hak-hak tersangka yang dijamin KUHAP. “Jika termohon tidak hadir, maka dianggap menyetujui putusan hakim,” tegas Firman.

Di sisi lain, Mahupiki menyoroti perbedaan sistem pembuktian antara praperadilan dan persidangan. Dalam praperadilan diusulkan menggunakan teori pembuktian positif (positief wettelijk), sementara untuk persidangan tetap menggunakan sistem negatif (negatief wettelijk) sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

Masukan keenam menyangkut dihapusnya Pasal 183 dalam RUU KUHAP, yang menurut Mahupiki harus direkonstruksi ulang demi menjaga prinsip pembuktian yang berbasis pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.

Baca Juga :  Kejaksaan Lanjutkan Pengambilalihan 59 Rupbasan se-Indonesia

Terakhir, Mahupiki menyoroti pentingnya pengaturan ketentuan peralihan sebagaimana tercantum dalam Pasal 327 dan 328 RUU KUHAP. Firman mengingatkan bahwa setidaknya 18 Peraturan Pemerintah harus segera disiapkan agar pelaksanaan undang-undang tersebut tidak tertunda.

Di tengah berkembangnya teknologi, Mahupiki juga menekankan urgensi memperjelas kedudukan bukti digital dalam sistem pembuktian pidana. Selain itu, dibutuhkan definisi yang lebih tegas dalam proses penyelidikan hingga peradilan agar hukum tidak multitafsir dan lebih adaptif terhadap dinamika zaman.

Mahupiki berharap masukan ini dapat memperkaya substansi RUU KUHAP demi mewujudkan sistem hukum pidana yang adil, akuntabel, dan selaras dengan prinsip negara hukum demokratis.

Avatar Adm

Editor: Lingga
Copyright © KARONESIA 2025