Iklan Karonesia
Home » Berita » 80 Tahun Mahkamah Agung: Menakar Keadilan dan Harapan Baru

80 Tahun Mahkamah Agung: Menakar Keadilan dan Harapan Baru

Jakarta (KARONESIA) | Setiap perayaan ulang tahun lembaga negara, khususnya Mahkamah Agung (MA), bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum refleksi mendalam atas perjalanan panjang penegakan hukum di Indonesia. Delapan dekade bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang waktu tersebut, MA telah menjadi saksi sekaligus aktor utama dalam dinamika hukum dan keadilan di tanah air.

Hal ini mengajak kita menengok kembali makna keadilan, integritas, dan tantangan yang dihadapi MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan.

Konsistensi dan Tantangan Mahkamah Agung
Sejak berdiri pada 19 Agustus 1945, MA telah melalui berbagai fase sejarah: dari masa revolusi, Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Setiap periode membawa tantangan tersendiri, mulai dari intervensi kekuasaan, korupsi, hingga krisis kepercayaan publik.

Data Komisi Yudisial (2023) menunjukkan, sepanjang 2022 saja, terdapat 1.500 lebih laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik hakim.

Sementara itu, survei LSI (2023) mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap MA berada di angka 62%, lebih tinggi dibandingkan lembaga penegak hukum lain, namun masih menyisakan pekerjaan rumah besar dalam hal transparansi dan akuntabilitas.

Yakub menyoroti simbolisme toga dan palu hakim sebagai representasi otoritas, integritas, dan tanggung jawab moral. Namun, realitas di lapangan kerap kali tidak seideal simbol tersebut.

Kasus-kasus suap, mafia peradilan, dan putusan kontroversial masih menjadi noda yang mencoreng wajah peradilan. Di sisi lain, MA juga telah melakukan berbagai inovasi, seperti digitalisasi perkara, keterbukaan informasi, dan pembentukan kamar-kamar khusus untuk mempercepat proses peradilan.

Mengadili Tanpa Takut: Antara Idealitas dan Realitas
Prinsip “mengadili tanpa takut” yang diangkat penulis adalah fondasi utama independensi peradilan. Namun, dalam praktiknya, tekanan politik, ekonomi, dan opini publik sering kali menjadi tantangan nyata.

Laporan Transparency International (2023) menempatkan Indonesia pada skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi, menandakan masih rentannya integritas lembaga peradilan. Di sisi lain, keberanian sejumlah hakim dalam memutus perkara besar, seperti kasus korupsi kelas kakap atau pelanggaran HAM berat menjadi bukti bahwa idealisme masih hidup di sebagian tubuh peradilan.

Objektivitas menuntut kita mengakui bahwa MA telah berupaya melakukan pembenahan, namun tantangan sistemik masih membayangi. Reformasi birokrasi, penguatan pengawasan internal, dan peningkatan kesejahteraan hakim adalah langkah-langkah yang harus terus diakselerasi.

Selain itu, pendidikan etik dan integritas bagi para hakim perlu menjadi prioritas utama agar prinsip “mengadili tanpa takut” tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar terinternalisasi dalam setiap putusan.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Delapan dekade perjalanan Mahkamah Agung adalah catatan panjang tentang perjuangan menegakkan keadilan di tengah berbagai tantangan. Keberanian moral, integritas, dan independensi harus terus menjadi roh utama setiap insan peradilan.

Untuk itu, MA perlu memperkuat sistem pengawasan, memperluas akses keadilan bagi masyarakat, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses peradilan.

Hanya dengan demikian, kepercayaan publik dapat dirawat dan keadilan benar-benar hadir di tengah masyarakat. Momentum HUT ke-80 ini harus menjadi titik tolak pembaruan, bukan sekadar perayaan, agar MA tetap menjadi “the guardian of justice” yang sesungguhnya.

Penulis: Yakub F Ismail, Ketum IMO Indonesia

Avatar Adm

Editor: Lingga
Copyright © KARONESIA 2025

Artikel ini telah tayang di Karonesia.com dengan judul "80 Tahun Mahkamah Agung: Menakar Keadilan dan Harapan Baru"
Link: https://karonesia.com/gerai-hukum/80-tahun-mahkamah-agung-menakar-keadilan-dan-harapan-baru/

Iklan ×