Jakarta, KARONESIA.COM | Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia soal pengaturan distribusi bahan bakar minyak (BBM) menuai kritik keras dari kalangan pelaku industri. Langkah yang awalnya dimaksudkan untuk menata pasar dan menekan harga justru dianggap berisiko menekan peran swasta serta merugikan Pertamina sebagai pemain utama sektor energi nasional.
Bahlil ingin membatasi distribusi BBM hanya melalui mekanisme tertentu untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan. Namun, strategi tersebut dinilai banyak kalangan sebagai langkah yang tidak sejalan dengan kondisi riil di lapangan. Akibatnya, muncul kekhawatiran soal pasokan BBM yang tidak merata, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada suplai dari swasta.
Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) non-Pertamina bahkan dikabarkan berhenti beroperasi karena kesulitan memperoleh pasokan. Sebagian lainnya hanya mampu melayani konsumen dengan stok terbatas. Kondisi itu berpotensi memicu kelangkaan dan inflasi energi di sejumlah wilayah, terutama yang bergantung pada transportasi darat dan sektor industri kecil.
Pertamina sendiri, yang berstatus sebagai perusahaan pelat merah dengan tanggung jawab besar dalam menjaga ketahanan energi nasional, berada dalam posisi sulit. Pengaturan harga yang tidak selaras dengan mekanisme pasar dapat menggerus margin keuntungan dan menekan efisiensi operasional. Ketika distribusi tersendat dan harga tidak realistis, beban terbesar justru menimpa BUMN tersebut.
Dalam konteks tata kelola energi nasional, keputusan sepihak seperti ini berpotensi menimbulkan efek domino. Dunia usaha kecil dan menengah (UMKM) menjadi korban pertama karena kenaikan biaya produksi dan distribusi. Efek lanjutan adalah penurunan daya saing usaha domestik.
Masalah ini bukan kali pertama muncul. Kasus serupa pernah terjadi di Provinsi Banten, saat pasokan gas ke sejumlah pabrik tersendat akibat regulasi yang kaku. Pengalaman itu seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah tentang pentingnya fleksibilitas dalam distribusi energi.
Masalah menjadi semakin kompleks ketika Bahlil juga mendorong kebijakan pencampuran etanol dalam BBM. Secara konseptual, langkah ini memang sejalan dengan upaya menuju transisi energi hijau dan pengurangan impor minyak. Namun, kesiapan infrastruktur dan pasokan etanol di dalam negeri masih jauh dari ideal. Kualitas bahan baku yang belum stabil serta rantai pasok yang belum efisien membuat kebijakan ini prematur.
Akibatnya, keluhan masyarakat pun bermunculan. Banyak pengguna kendaraan mengeluhkan penurunan performa mesin dan kualitas bahan bakar. Alih-alih mendorong efisiensi energi, kebijakan ini justru menimbulkan persoalan baru di tingkat pengguna.
Di tengah berbagai kritik terhadap arah kebijakan energi, muncul figur Simon Aloysius Mantiri, Direktur Utama Pertamina yang dikenal tegas dan visioner. Kepemimpinannya dianggap sebagai titik balik bagi perusahaan energi pelat merah itu untuk kembali fokus pada efisiensi, transparansi, dan kolaborasi strategis.
Simon memiliki pandangan berbeda tentang tata kelola energi. Ia memahami bahwa persoalan utama sektor ini bukan hanya produksi dan distribusi, tetapi juga keterbukaan dan manajemen yang efisien. Di bawah kepemimpinannya, Pertamina mulai menjalankan transformasi besar-besaran untuk menjadi perusahaan energi yang adaptif dan digital.
Langkah-langkah strategis yang ia ambil antara lain memperkuat kapasitas kilang domestik, mengefisienkan rantai pasok, dan mempercepat digitalisasi sistem distribusi BBM. Langkah itu tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga mengurangi kebocoran di lapangan.
Lebih dari itu, Simon mendorong kerja sama erat antara BUMN dan sektor swasta. Ia memandang pelaku swasta bukan sebagai pesaing, melainkan mitra penting dalam memperkuat ketahanan energi nasional. Pendekatan kolaboratif ini menjadi fondasi baru bagi kebijakan energi yang lebih berkelanjutan dan realistis.
Menurut Simon, kebijakan energi yang efektif tidak bisa hanya lahir dari meja birokrasi, tetapi harus mempertimbangkan dinamika lapangan. “Energi adalah urat nadi kehidupan ekonomi. Kita tidak bisa mengaturnya hanya dari regulasi, tapi juga dari realitas kebutuhan masyarakat,” ujarnya dalam sebuah forum internal, menegaskan pendekatannya yang pragmatis dan berorientasi solusi.
Pandangan ini sekaligus menjadi kontras tajam terhadap pendekatan pemerintah yang terkesan top-down dan kurang mempertimbangkan kesiapan ekosistem industri. Di tangan Simon, Pertamina tidak hanya diposisikan sebagai penyedia energi nasional, tetapi juga sebagai katalis transisi menuju energi hijau melalui inovasi dan efisiensi.
Kepemimpinan seperti inilah yang kini dibutuhkan di tengah tekanan ekonomi global dan fluktuasi harga minyak dunia. Pertamina memerlukan figur yang mampu menjaga keseimbangan antara tanggung jawab sosial, kepentingan bisnis, dan arah kebijakan nasional.
Jika kebijakan Bahlil dinilai sebagai langkah tergesa, maka pendekatan Simon menjadi bentuk perlawanan elegan melalui kerja nyata dan transformasi manajerial. Ia berupaya memulihkan kepercayaan publik dengan menegaskan peran Pertamina sebagai motor penggerak stabilitas energi nasional.
Pertanyaannya kini, apakah pemerintah siap membuka ruang dialog baru dengan para pelaku industri energi, termasuk BUMN dan swasta, untuk menata ulang arah kebijakan BBM yang lebih realistis dan adaptif?
Kebijakan yang baik seharusnya lahir dari kolaborasi dan pemahaman atas kompleksitas pasar energi. Tanpa itu, Indonesia berisiko kehilangan momentum menuju kemandirian energi yang selama ini menjadi cita-cita nasional.
Simon Aloysius menghadirkan optimisme baru dalam perjalanan itu. Dengan pendekatan yang transparan dan efisien, ia membuktikan bahwa transformasi sektor energi bisa dimulai dari tata kelola yang sehat. Sementara, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan yang justru membatasi ruang gerak industri dan mengancam stabilitas nasional.
Jika sinergi antara regulator, BUMN, dan sektor swasta dapat terjalin harmonis, Indonesia punya peluang besar menjadi pemain kuat dalam peta energi global. Namun, jika ego kebijakan tetap mendominasi, maka krisis energi hanya tinggal menunggu waktu.(*)
Penulis: Yakub F. Ismail, Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia
Editor: Lingga
© KARONESIA 2025
Link: https://karonesia.com/ekonomi/blunder-kebijakan-bahlil-dan-harapan-baru-di-tangan-simon-aloysius/

