Jakarta, (KARONESIA.COM) – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945.
Sidang ini akan dilaksanakan pada Selasa (20/02/2023) pukul 13.30 WIB dengan agenda mendengarkan Keterangan DPR dan Pihak Terkait.
Permohonan yang terregistrasi dengan nomor perkara 87/PUUXX/2023 ini diajukan oleh Gugum Ridho Putra, S.H.,M.H yang merupakan seorang Advokat.
Pemohon menguji frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada ketentuan Pasal 42 UU 30/2002, kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “Jaksa atau Jaksa Tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “Jaksa Tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1).
Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan pasal-pasal aquo.
Kerugian tersebut terkait kewenangan Penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja.
Padahal, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah jelas menegaskan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan; pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum danpemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pemohon meyakini, ketidak profesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.
Mengacu kepada Ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, di mana setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka dalam konteks pidana korupsi yang dilakukan kalangan sipil maupun kalangan militer, sejatinya tidaklah berpengaruh terhadap status perbuatan deliknya.
Dalam sidang perbaikan permohonan (12/9) lalu, kuasa hukum Pemohon Irfan Maulana menyampaikan bahwa setelah perbaikan, Pemohon menjadi menguji seluruh ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 42.
Selain itu Pemohon mengubah kedudukan hukum yang sebelumnya sebagai Advokat saat ini menjadi perorangan warga negara Indonesia.
Sidang yang seharusnya dijadwalkan pada Selasa (21/11) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden harus ditunda oleh karena DPR berhalangan hadir dan Pemerintah belum siap memberikan keterangan.
Sidang sebelumnya pada tanggal (6/12), Dhahana Putra Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) yang mewakili Pemerintah/Presiden menjelaskan bahwa ketentuan hukum acara pidana koneksitas yang diatur dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP maupun Pasal 198 sampai dengan Pasal 203 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dapat dipergunakan KPK untuk menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU KPK, serta tidak terdapat kekosongan hukum bagi KPK dalam pelaksanaan kewenangannya.
Pemohon menghadirkan Ahli dari Universitas Indonesia pada (25/1/2024) lalu, Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana menjelaskan berdasarkan kedudukannya, KPK memiliki wewenang untuk menangani secara mandiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang sebagaimana telah diatur dalam undang-undang termasuk yang dilakukan secara koneksitas.
Oleh karena itu, pengertian koneksitas harus dipahami sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan. (@2024/lingga)