Iklan Karonesia
Home » Berita » Kala Solidaritas Menembus Tapal Batas: Rp10,3 Miliar dalam Sehari dan Isyarat Publik untuk Elite

Kala Solidaritas Menembus Tapal Batas: Rp10,3 Miliar dalam Sehari dan Isyarat Publik untuk Elite

Logo Karonesia

Penulis: Yakub F. Ismail,Direktur Eksekutif INISIATOR, SUAKA96  |  Editor: Lingga  |  @KARONESIA.COM

Jakarta, KARONESIA.com | Fenomena yang tampak di tengah rangkaian bencana di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara memperlihatkan betapa kuatnya resonansi empati publik jika dihadapkan pada tragedi yang menyentuh nurani kolektif. Di saat situasi darurat merenggut banyak harapan, solidaritas justru bangkit dalam bentuk yang mengejutkan, lebih dari Rp10,3 miliar terhimpun hanya dalam tempo sehari melalui gerakan yang diprakarsai Ferry Irwandi dan Malaka Project.

Arus dukungan yang mengalir spontan ini tidak sekadar menunjukkan kemurahan hati, tetapi memancarkan sinyal sosial yang lebih dalam tentang kepercayaan, ketulusan, dan kegelisahan masyarakat terhadap arah pengelolaan negeri ini.

Solidaritas yang lahir dari bawah permukaan ini mengirimkan pesan yang tegas. Di satu sisi, publik merespons kredibilitas personal Ferry Irwandi yang konsisten tampil dalam kerja-kerja sosial tanpa perlu panggung formal.

Di sisi lain, terdapat kekecewaan yang telah lama mengendap terhadap elite dan institusi yang dinilai gagal menjaga ekosistem serta lambat merespons bencana yang berulang. Di persimpangan inilah semangat kemanusiaan dan kegagalan struktur bertemu.

Fenomena ini menjadi pintu masuk bagi pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana elite negeri ini bertanggung jawab atas kerusakan ekologis yang kini menuntut “balasan” dari alam?

Banjir dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera tidak dapat dibaca sebagai kejadian acak. Ia adalah penanda ekologis yang menubuhkan rangkaian kebijakan selama puluhan tahun, kebijakan yang membuka ruang eksploitasi hutan dan lahan dengan dalih investasi dan pembangunan ekonomi.

Ironisnya, ucapan tentang pentingnya menjaga hutan justru datang dari mereka yang pernah atau sedang memegang otoritas besar dalam menetapkan arah pembangunan.

Raja Juli Antoni sebagai Menteri Kehutanan hari ini memikul tanggung jawab dalam upaya pemulihan lingkungan. Namun rentetan aktor yang memiliki rekam jejak dalam kebijakan kehutanan tidak berhenti di sana.

Pada periode kepemimpinan Zulkifli Hasan (2009–2014), misalnya, deforestasi terjadi dalam skala masif. Izin konsesi perkebunan sawit dan kehutanan diterbitkan meluas di Sumatera dan Kalimantan, sementara konflik agraria meningkat dan pengawasan melemah. Greenpeace, WALHI, dan berbagai organisasi lingkungan mencatat pola yang sama: ekspansi terjadi terlalu cepat, pemulihan terlalu lambat.

Sosok lain yang disorot adalah Bahlil Lahadalia sebagai Menteri ESDM. Setiap aktivitas eksplorasi energi, baik batu bara, mineral, maupun panas bumi memiliki konsekuensi ekologis besar.

Ketika pengawasan tidak seimbang dengan laju eksploitasi, kawasan resapan air, jalur sungai, dan tanah gambut menjadi korban. Dalam konteks ini, bencana bukan sekadar fenomena alam, tetapi bayangan dari kebijakan yang membiarkan ketimpangan ekologis tumbuh tanpa koreksi.

Karena itu, tanggung jawab elite tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan hari ini, tetapi oleh apa yang selama ini mereka biarkan terjadi.

Di sisi lain, gelombang solidaritas yang digerakkan publik memperlihatkan kontras mencolok dengan panggung pencitraan sebagian elite. Ketika bantuan masyarakat mengalir melalui figur seperti Ferry Irwandi secara cepat dan organik, aksi seremonial pejabat yang memanggul beras di depan kamera justru memunculkan sinisme. Publik membaca gestur itu sebagai upaya mengelola kesan, bukan menunjukkan empati sejati.

Fenomena semakin terasa karikatural ketika sejumlah anggota dewan hadir di lokasi bencana dengan atribut seperti rompi khusus yang dirancang untuk “tampak heroik” di kamera. Alih-alih memperlihatkan kepekaan, kehadiran tersebut lebih mirip konten media sosial ketimbang aksi kemanusiaan yang tulus.

Kontras ini menciptakan jurang moral yang jelas. Di satu sisi, rakyat bergerak secara kolektif, percaya pada figur yang mereka nilai jujur dan dekat. Di sisi lain, elite tampil dengan dramaturgi yang semakin sulit dipercaya publik. Maka tidak mengherankan jika masyarakat kini memilih saluran solidaritas alternatif, jauh dari hiruk pikuk panggung politik.

Pada akhirnya, bencana Sumatera menjadi cermin sosial yang memperlihatkan siapa yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan siapa yang sekadar memanfaatkan tragedi.

Di tengah luka yang belum sembuh, publik menaruh harapan pada tindakan nyata, bukan simbol. Solidaritas yang menembus batas itu menjadi bukti bahwa ketika negara gagal hadir sepenuhnya, masyarakat justru tidak menutup pintu mereka.(*)

Bagikan artikel ini untuk menyebarkan informasi terpercaya dari karonesia.com.

Artikel ini telah tayang di Karonesia.com dengan judul "Kala Solidaritas Menembus Tapal Batas: Rp10,3 Miliar dalam Sehari dan Isyarat Publik untuk Elite"
Link: https://karonesia.com/opini/kala-solidaritas-menembus-tapal-batas-rp103-miliar-dalam-sehari-dan-isyarat-publik-untuk-elite/

Iklan ×