Jakarta ,KARONESIA – Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Mufti Mubarok, mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap perlindungan data pribadi warga negara Indonesia (WNI) dalam konteks hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Peringatan ini disampaikan menyusul pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait kesepakatan dagang dengan Presiden RI Prabowo Subianto yang mencakup isu transfer data pribadi WNI ke Negeri Paman Sam.
Mufti menegaskan bahwa meskipun masyarakat perlu mencermati potensi risiko, tidak semestinya langsung menyimpulkan bahwa data pribadi WNI akan dikuasai secara bebas oleh pihak asing.
“Sebagai WNI memang perlu khawatir data pribadi dapat dikuasai bebas oleh Amerika, karena transfer data ke luar negeri harus tunduk pada UU Perlindungan Data Pribadi, termasuk persetujuan subjek data dan mekanisme pengamanan yang ketat. Memang harus curiga, tapi jangan buru-buru menyimpulkan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Jumat (25/7).
Mufti menjelaskan bahwa data pribadi bukanlah komoditas dagang. Dalam dokumen resmi yang dirilis Gedung Putih, tidak terdapat klausul yang menyebutkan Indonesia menyerahkan data pribadi secara bebas kepada Amerika Serikat. Menurutnya, yang ada justru pengakuan bahwa Amerika memiliki sistem perlindungan data yang dianggap setara atau memadai.
“Jadi ini bukan soal menyerahkan data, tapi soal memungkinkan transfer data secara legal untuk kebutuhan cloud service, fintech, e-commerce, atau bisnis digital lintas negara,” tegasnya.
Ia juga menguraikan bahwa berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, transfer data pribadi ke luar negeri hanya bisa dilakukan apabila negara tujuan memiliki tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi. Alternatifnya adalah adanya perjanjian hukum yang mengikat antara pihak pengirim dan penerima data, atau persetujuan eksplisit dari pemilik data.
“Kalau dua syarat itu tidak terpenuhi, maka transfer tidak boleh dilakukan. Kita sendiri sebagai subjek data harus memberi persetujuan eksplisit jika perlindungan hukum belum memadai,” tambahnya.
Menurut Mufti, kerja sama ini merupakan bagian dari upaya menghapus hambatan perdagangan digital antara Indonesia dan Amerika Serikat. Dalam konteks perdagangan digital global, larangan transfer data lintas negara dinilai sebagai salah satu hambatan utama.
“Banyak perusahaan global seperti Google, AWS, dan Meta bergantung pada kemampuan mengelola data lintas negara. Tanpa dasar hukum yang jelas, operasi mereka di Indonesia bisa dianggap melanggar hukum,” jelasnya.
Mufti memberi contoh konkret, seperti penggunaan layanan e-commerce lokal yang mengandalkan server Amazon Web Services (AWS) di Amerika Serikat. Praktik tersebut termasuk kategori transfer data pribadi lintas negara. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum agar aktivitas tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional.
Namun ia juga menekankan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan tetap menjadi hal yang sangat penting. Ia mengajak publik untuk ikut mengawal dan memastikan bahwa proses ini tidak melanggar hak-hak konsumen Indonesia.
“Pengakuan itu bukan cek kosong. Kita harus awasi pelaksanaannya dengan ketat. Justru karena itu kita perlu terus mengawal implementasinya,” pungkasnya.