Banten, (KARONESIA.CON) – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia menuai kritik keras dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Banten. Presiden RI, Prabowo Subianto, baru saja menandatangani keputusan kenaikan UMP sebesar 6,5%, yang dianggap cukup tinggi dan langsung menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat dan dunia usaha.
Sebagian pihak menyambut baik kebijakan ini sebagai langkah positif untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja yang selama ini menghadapi tantangan ekonomi, sementara sebagian lainnya, terutama pelaku usaha, mempertanyakan dasar keputusan ini. Apindo, melalui Ketua DPP Apindo Banten, Yakub F. Ismail, menilai bahwa keputusan ini belum didasari oleh kajian yang komprehensif dan melibatkan semua pihak terkait.
Yakub F. Ismail mengungkapkan bahwa yang menjadi masalah bukanlah kenaikan UMP itu sendiri, tetapi dasar yang digunakan pemerintah untuk menetapkan angka 6,5%. Menurutnya, keputusan yang berdampak luas bagi dunia usaha seharusnya dilandasi oleh kajian yang lebih mendalam dan melibatkan konsultasi dengan pihak-pihak yang akan terkena dampaknya.
“Semua keputusan harus memiliki dasar yang kuat, terutama yang menyangkut kebijakan publik. Kami, sebagai bagian dari dunia usaha, merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini. Kami benar-benar kaget dan mempertanyakan apa dasar yang digunakan,” kata Yakub di BSD, Banten, Minggu (1/12/2024).
Yakub juga menyoroti bahwa kebijakan tersebut tampaknya diambil secara sepihak tanpa mempertimbangkan aspek-aspek krusial dalam kondisi perekonomian yang ada, baik di tingkat lokal maupun nasional. “Kami tidak dilibatkan dalam pembicaraan apapun. Kami mempertanyakan alasan di balik pengambilan keputusan ini,” ujarnya.
Yakub memperingatkan bahwa keputusan kenaikan UMP yang signifikan ini berpotensi menimbulkan konsekuensi buruk bagi dunia usaha. Dia menjelaskan, banyak perusahaan yang saat ini sudah terbebani dengan berbagai biaya operasional lainnya, seperti kenaikan biaya BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, upah lembur, serta beban pengeluaran tahunan lainnya. Jika kenaikan UMP diberlakukan begitu saja, tanpa perencanaan yang matang, hal ini bisa menyebabkan kesulitan finansial yang besar bagi pengusaha.
“Sebagian besar perusahaan menggunakan UMP yang ada sekarang sebagai patokan. Dengan kenaikan 6,5%, perusahaan harus segera mengalokasikan anggaran tambahan, yang tentu saja bisa menjadi beban besar, terutama bagi sektor usaha kecil dan menengah,” kata Yakub.
Ia juga menambahkan bahwa perusahaan tidak hanya menghadapi kenaikan UMP, tetapi juga meningkatnya biaya lainnya, seperti BPJS, THR, kompensasi PHK, dan pensiun. “Jangan lupa, ada juga biaya untuk Tapera 2027 dan berbagai biaya lain yang sifatnya tahunan,” ujar Yakub.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak negatif yang mungkin timbul, Yakub meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan kebijakan ini dengan melibatkan dunia usaha dalam pembahasan lebih lanjut. Menurutnya, penting untuk memaknai ulang hubungan tripartite antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja agar tercipta kebijakan yang lebih seimbang dan saling mendukung.
“Jika hubungan tripartite ini tidak dijaga dengan baik, bisa menimbulkan masalah lebih besar ke depan. Kami harap kebijakan ini bisa dibahas ulang, dan melibatkan semua pihak terkait,” tambah Yakub.
Yakub juga menyayangkan pihak Pemerintah Provinsi Banten yang sampai saat ini belum mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov), yang merupakan bagian dari proses tripartite dalam penentuan upah minimum. Menurutnya, keterlibatan semua unsur dalam Depeprov sangat penting untuk memastikan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan semua pihak, baik pengusaha, pekerja, maupun pemerintah.
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5% setelah rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (30/11/2024). Dalam rapat tersebut, hadir sejumlah menteri, termasuk Menteri Ketenagakerjaan, Menko Perekonomian, Menkeu, dan Menteri Sekretaris Negara. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja, namun bagi sebagian pengusaha, kebijakan ini justru menambah beban yang harus ditanggung dunia usaha. (@2024)