Jakarta, (KARONESIA.COM) – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose virtual pada Kamis, 28 November 2024, untuk menyetujui empat permohonan penghentian penuntutan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). Salah satu perkara yang diselesaikan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan Yunus alias Afung, warga Sanggau, Kalimantan Barat.
Kasus ini bermula pada 14 September 2024, ketika Yunus kembali ke rumahnya untuk mengantarkan mainan anak-anaknya. Kemudian, terjadilah perdebatan keluarga yang berujung pada tindakan kekerasan fisik terhadap istrinya, Ira. Pada 18 September 2024, Yunus menampar dan meninju Ira hingga mengalami luka-luka, termasuk robeknya bibir dan memar di tubuh korban. Kejadian ini dilaporkan ke Polsek Batang Tarang, yang kemudian mengamankan Yunus.
Setelah kasus ini diproses, Kejaksaan Negeri Sanggau menginisiasi penyelesaian perkara dengan Restorative Justice. Yunus mengakui perbuatannya, menyesali tindakannya, dan meminta maaf kepada korban. Ira menerima permintaan maaf tersebut dan menyetujui penghentian proses hukum. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Jaksa Agung memutuskan untuk menghentikan penuntutan terhadap Yunus melalui mekanisme RJ.
Selain kasus Yunus, tiga perkara lainnya juga diselesaikan dengan cara yang sama, yakni penyelesaian perkara pencurian dan penganiayaan yang melibatkan tersangka Ripki Septiana, Retendra Johnbetri, dan Aulia Adi Putra. Alasan penghentian penuntutan didasarkan pada sejumlah pertimbangan, seperti proses perdamaian yang dilakukan secara sukarela, belum adanya hukuman sebelumnya, serta komitmen tersangka untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Keputusan ini merupakan implementasi dari Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Restorative Justice, yang bertujuan untuk memberikan solusi hukum yang lebih manusiawi dan mengedepankan penyelesaian masalah secara damai, tanpa harus melalui jalur peradilan formal. Keadilan restoratif menjadi alternatif penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, terutama untuk perkara-perkara yang tidak melibatkan ancaman pidana berat.
JAM-Pidum menegaskan bahwa setiap penghentian penuntutan berdasarkan RJ harus memperhatikan prinsip keadilan, serta kepentingan korban dan masyarakat. Proses ini bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan mencegah tindakan serupa di masa depan, sambil tetap memastikan hak-hak hukum semua pihak terjamin. (@2024)